Menurut Elisna, saat ini algoritma kecerdasan buatan dapat dilatih untuk mendeteksi dan menyoroti nodul atau lesi paru-paru dalam gambar medis. Mereka dapat membantu radiologis dalam mengidentifikasi pertumbuhan yang berpotensi kanker pada tahap awal.
“Kunci untuk mengurangi kematian akibat kanker paru di Indonesia adalah deteksi dini, yang memungkinkan para penyedia layanan kesehatan untuk menawarkan perawatan yang paling sesuai untuk pasien. Dengan deteksi lebih awal, ada juga peluang penyembuhan yang lebih besar. Di Indonesia, sangat penting bahwa skrining LDCT digunakan sebagai alat skrining utama dan sinar-X dada dapat didukung oleh kecerdasan buatan untuk perokok aktif dan perokok pasif berusia 45–75 tahun, dengan riwayat keluarga menderita kanker paru-paru, jika kita ingin segera menyelamatkan lebih banyak nyawa dari kanker paru,” ucap Elisna.
Menurut Dr. Sita Laksmi Andarini, Ketua Pokja Onko PDPI, di Asia ini agak berbeda dengan negara lain. "Di Asia, meski bukan perokok tapi prevalensinya juga tinggi. Yang menerapkan skrining di Asia pun masih sedikit. Dan kini pemerintah kita mulai mencanangkan skrining dan deteksi dini," ujar Dr. Sita.
"Langkah pertama yang bisa dilakukan adalah pengendalian faktor risikonya seperti rokok. Lalu, skrining untuk usia di atas 45 tahun bagi perokok dan di atas 40 jika memiliki risiko riwayat keluarga kanker ataupun pajanan karena pekerjaan, asbes, silica, radon, kayu, batubara, semen, kaca, hingga polusi udara," urai Dr. Sita.
Yayasan Kanker Indonesia mendesak pemerintah untuk mengalokasikan dana dan menerapkan kebijakan kesehatan yang memperkuat akses ke skrining kanker paru, dimulai dari populasi berisiko tinggi berdasarkan hasil dari pengisian Kuesioner Profil Risiko Kanker Paru.
Dalam semangat transformasi pelayanan kesehatan yang menempatkan prioritas pada pencegahan dan deteksi dini, Kementerian Kesehatan sangat mendukung eksplorasi kemajuan teknologi baru dalam skrining kanker paru untuk membantu pasien mendapatkan perawatan lebih awal dan mengurangi beban negara.
"Harapannya, jumlah kanker paru yang terdeteksi meningkat. Biasanya datang pada saat sudah stadium 4, bisa turun jadi stadium 3 atau 2 atau 1," tandas Dr. Theresia Sandra Diah Ratih MHA, Ketua Tim Kerja Penyakit Kanker dan Kelainan Darah Direktorat P2PTM, Kementerian Kesehatan RI.
Dr. Eva Susanti, S. Kp, M.Kes., Direktur pencegahan dan pengendalian penyakit tidak menular Kementerian Kesehatan berkata, “Kami mengapresiasi upaya Yayasan Kanker Indonesia, AstraZeneca, PDPI, dan IASTO secara bersama sama agar kita dapat meningkatkan program skrining nasional untuk kanker paru ada beberapa hal penting yg harus dilakukan yaitu kita fokus pada identifikasi populasi berisiko tinggi melalui adopsi Kuesioner Profil Risiko Kanker Paru dan eksplorasi potensi penggunaan teknologi inovatif seperti CT scan berdosis rendah dan kecerdasan buatan untuk membantu radiolog dalam mengidentifikasi pertumbuhan yang berpotensi kanker pada tahap awal, sehingga pasien kanker paru dapat dideteksi dan diobati lebih awal.”
Hoerry Satrio, Head of Corporate Affairs of AstraZeneca Indonesia, mengatakan, "Sesuai dengan Nota Kesepahaman yang disepakati awal tahun ini antara AstraZeneca dan Kementerian Kesehatan, yang bertujuan untuk mendorong Transformasi Pelayanan Kesehatan, kami berharap untuk meneruskan dialog berkelanjutan hari ini dengan Kementerian Kesehatan dan mitra-mitra terhormat kami. Bersama-sama, kita bercita-cita membuka jalan menuju pembentukan program Skrining Kanker Paru nasional, langkah penting menuju masa depan Indonesia yang lebih sehat dan lebih tahan terhadap kanker paru."
Editor : M Mahfud