JAKARTA, iNewsDepok.id – Yanti (68) seorang penyintas Kanker Paru sangat bersyukur penyakit kanker paru yang dideritanya bisa terdeteksi sejak awal.
Selama ini dengan diantar sang Anak, Yanti memang rutin melakukan medical check up setahun sekali.
Nah, tepatnya pada Juni 2021, dokter menemukan ada "massa" di paru-paru kirinya dan Yanti didiagnosa terkena kanker paru stadium 2A. Yanti sempat shock mengingat ia tidak pernah mengalami gejala penyakit yang berarti.
"Saya sangat bersyukur terdeteksi pada stadium awal sehingga belum menyebar. Juli 2021 dioperasi dan saya pun melakukan terapi dan minum obat rutin sehingga kankernya tidak datang lagi. Setelah terapi saya pun dapat beraktivitas seperti biasa. Naik turun tangga bahkan berjalan jauh juga aman-aman saja," tutur Yanti.
Kisah penyintas Kanker Paru lain datang dari Albert Charles Sompie (Ketua Koordinator Survivors Yayasan Kanker Indonesia/YKI) yang akrab disapa Berthie. Mantan atlet ini selama 17 tahun bergelut dengan penyakit kanker paru.
"Ini semua karena kebodohan saya. Saya adalah perokok berat dan ternyata juga ada keturunan karena kakak dan adik saya juga kena, tapi memang saya duluan," ungkap Berthie yang pada akhir 2005 harus kehilangan paru-paru kanannya di usia 47 tahun.
"Dulu belum ada BPJS. Saya juga harus menjalani kemoterapi. Saya punya Askes tapi belum mengcover. Saya ini Sadikin, sakit jadi miskin," kata Berthie tertawa.
"Waktu itu harapan hidup hanya satu tahun, karena datang sudah stadium 3B, tapi dengan semangat dan usaha keras, ternyata saya bisa bertahan hidup hingga 17 tahun dan masih bisa berenang serta sepedahan," kata Berthie lagi.
Pria yang kini telah berusia 65 tahun tersebut senang karena kini pemerintah sudah punya program skrining kanker paru sehingga bisa terdeteksi lebih awal. "Dulu tak ada deteksi dini. Kini sudah ada, sehingga tidak perlu seperti saya yang harus dibuang paru-parunya," tambahnya.
Ya, memperingati Hari Kanker Paru Sedunia 2023 yang jatuh setiap 1 Agustus, pada Rabu, 23 Agustus 2023, Yayasan Kanker Indonesia, bekerja sama dengan AstraZeneca, Indonesian Association for the Study on Thoracic Oncology (IASTO), dan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), meluncurkan 'Konsensus Skrining Kanker Paru Indonesia.' Inisiatif terobosan ini sejalan dengan strategi transformasi pelayanan kesehatan Kementerian Kesehatan, yang berfokus pada promotif dan preventif.
Se Whan Chon, Presiden Direktur AstraZeneca, mengatakan, berdasarkan prevalensi global dari American Lung Cancer Association, terdapat sekitar 500 ribu orang yang hidup dengan kanker paru-paru di Indonesia dan jumlah tersebut bisa lebih tinggi lagi karena Indonesia memiliki jumlah perokok dan perokok pasif yang lebih tinggi.
"Namun, hanya 4% dari mereka yang hidup dengan kanker paru-paru, didiagnosis menderita kanker paru-paru setiap tahunnya, dimana 90% didiagnosis pada stadium lanjut. Oleh karena itu sangat penting untuk meningkatkan tingkat diagnosis yang rendah dan memperkuat sistem perawatan kesehatan untuk mendukung diagnosis dini dan skrining kanker paru-paru," ujar Se Whan Chon.
“Ketika kanker paru-paru terdeteksi pada stadium 1 dan 2, tingkat kelangsungan hidup meningkat secara signifikan, dan biaya terapi berkurang secara signifikan bagi pasien dan pemerintah,” tambah Se Whan.
Di Indonesia, selama bertahun-tahun kanker paru tetap menjadi penyebab kematian akibat kanker nomor satu dan jumlah kasusnya terus meningkat setiap tahun.
Data Globocan 2020 mengungkapkan kenyataan yang mengkhawatirkan untuk Indonesia, dengan 34.783 kasus baru yang terdiagnosis setiap tahun, dan mengakibatkan 30.843 kematian tragis.
Salah satu tantangan utama untuk kanker paru adalah lebih dari 90% pasien kanker paru terdiagnosis pada tahap lanjut. Hal ini mengakibatkan biaya pengobatan yang lebih tinggi, tetapi yang lebih penting adalah salah satu faktor penyebab utama tingginya angka kematian pasien.
Prof. Dr. dr. Elisna Syahruddin, Sp.P(K), Ph.D., Executive Director di Indonesian Association for the Study on Thoracic Oncology (IASTO), mengatakan, “Indonesia memiliki beban kesehatan besar untuk tatalaksana kanker paru tapi kematian akibat kanker paru tetap tinggi. Salah satu faktor tingginya angka kematian ini adalah sebagian besar penyakit didiagnosis pada staging lanjut. Maka usaha untuk menurunkan angka kematian ini dg terapi yang cepat dan tepat. Semua modalitas terapi telah tersedia namun cara lain yg berefek positif dengan menemukannya dan memastikan diagnosis sedini mungkin melalui program skrining dan deteksi dini.”
Di antara rekomendasi dalam Konsensus Nasional baru mengenai Skrining Kanker Paru, para ahli mendorong peralihan dari sinar-X dada yang tradisional menjadi prosedur yang lebih canggih yang dikenal sebagai tomografi komputer berdosis rendah (LDCT), yang menggunakan komputer dengan sinar-X berdosis rendah untuk menghasilkan serangkaian gambar dan dapat membantu mendeteksi kelainan paru-paru, termasuk tumor.
Uji klinis di Amerika Serikat yang melibatkan lebih dari 50.000 peserta telah menunjukkan penurunan relatif 20 persen dalam kematian akibat kanker paru dengan skrining LDCT (247 kematian per 100.000 orang-tahun) dibandingkan dengan sinar-X dada (309 kematian per 100.000 orang-tahun), karena deteksi kanker yang lebih awal.
Dengan terobosan teknologi baru, skrining kanker paru juga dapat dibantu dengan kecerdasan buatan, yang melibatkan penggunaan algoritma komputer dan teknik pembelajaran mesin untuk menganalisis data gambar medis, seperti CT scan atau sinar-X dada, atau gambar relevan lainnya. Algoritma kecerdasan buatan ini dapat membantu dalam mendeteksi nodul paru-paru, lesi, atau pola yang mencurigakan yang dapat mengindikasikan keberadaan kanker paru pada populasi berisiko tinggi.
Menurut Elisna, saat ini algoritma kecerdasan buatan dapat dilatih untuk mendeteksi dan menyoroti nodul atau lesi paru-paru dalam gambar medis. Mereka dapat membantu radiologis dalam mengidentifikasi pertumbuhan yang berpotensi kanker pada tahap awal.
“Kunci untuk mengurangi kematian akibat kanker paru di Indonesia adalah deteksi dini, yang memungkinkan para penyedia layanan kesehatan untuk menawarkan perawatan yang paling sesuai untuk pasien. Dengan deteksi lebih awal, ada juga peluang penyembuhan yang lebih besar. Di Indonesia, sangat penting bahwa skrining LDCT digunakan sebagai alat skrining utama dan sinar-X dada dapat didukung oleh kecerdasan buatan untuk perokok aktif dan perokok pasif berusia 45–75 tahun, dengan riwayat keluarga menderita kanker paru-paru, jika kita ingin segera menyelamatkan lebih banyak nyawa dari kanker paru,” ucap Elisna.
Menurut Dr. Sita Laksmi Andarini, Ketua Pokja Onko PDPI, di Asia ini agak berbeda dengan negara lain. "Di Asia, meski bukan perokok tapi prevalensinya juga tinggi. Yang menerapkan skrining di Asia pun masih sedikit. Dan kini pemerintah kita mulai mencanangkan skrining dan deteksi dini," ujar Dr. Sita.
"Langkah pertama yang bisa dilakukan adalah pengendalian faktor risikonya seperti rokok. Lalu, skrining untuk usia di atas 45 tahun bagi perokok dan di atas 40 jika memiliki risiko riwayat keluarga kanker ataupun pajanan karena pekerjaan, asbes, silica, radon, kayu, batubara, semen, kaca, hingga polusi udara," urai Dr. Sita.
Yayasan Kanker Indonesia mendesak pemerintah untuk mengalokasikan dana dan menerapkan kebijakan kesehatan yang memperkuat akses ke skrining kanker paru, dimulai dari populasi berisiko tinggi berdasarkan hasil dari pengisian Kuesioner Profil Risiko Kanker Paru.
Dalam semangat transformasi pelayanan kesehatan yang menempatkan prioritas pada pencegahan dan deteksi dini, Kementerian Kesehatan sangat mendukung eksplorasi kemajuan teknologi baru dalam skrining kanker paru untuk membantu pasien mendapatkan perawatan lebih awal dan mengurangi beban negara.
"Harapannya, jumlah kanker paru yang terdeteksi meningkat. Biasanya datang pada saat sudah stadium 4, bisa turun jadi stadium 3 atau 2 atau 1," tandas Dr. Theresia Sandra Diah Ratih MHA, Ketua Tim Kerja Penyakit Kanker dan Kelainan Darah Direktorat P2PTM, Kementerian Kesehatan RI.
Dr. Eva Susanti, S. Kp, M.Kes., Direktur pencegahan dan pengendalian penyakit tidak menular Kementerian Kesehatan berkata, “Kami mengapresiasi upaya Yayasan Kanker Indonesia, AstraZeneca, PDPI, dan IASTO secara bersama sama agar kita dapat meningkatkan program skrining nasional untuk kanker paru ada beberapa hal penting yg harus dilakukan yaitu kita fokus pada identifikasi populasi berisiko tinggi melalui adopsi Kuesioner Profil Risiko Kanker Paru dan eksplorasi potensi penggunaan teknologi inovatif seperti CT scan berdosis rendah dan kecerdasan buatan untuk membantu radiolog dalam mengidentifikasi pertumbuhan yang berpotensi kanker pada tahap awal, sehingga pasien kanker paru dapat dideteksi dan diobati lebih awal.”
Hoerry Satrio, Head of Corporate Affairs of AstraZeneca Indonesia, mengatakan, "Sesuai dengan Nota Kesepahaman yang disepakati awal tahun ini antara AstraZeneca dan Kementerian Kesehatan, yang bertujuan untuk mendorong Transformasi Pelayanan Kesehatan, kami berharap untuk meneruskan dialog berkelanjutan hari ini dengan Kementerian Kesehatan dan mitra-mitra terhormat kami. Bersama-sama, kita bercita-cita membuka jalan menuju pembentukan program Skrining Kanker Paru nasional, langkah penting menuju masa depan Indonesia yang lebih sehat dan lebih tahan terhadap kanker paru."
Editor : M Mahfud