JAKARTA, iNewsDepok.id - Baru-baru ini media sosial ramai akan viralnya pemberitaan perusahaan tambang PT Bumi Merapi Energi (PT BME) yang terancam dipailitkan. Status pailit akan dimiliki PT BME jika tidak ada itikad baik untuk melunasi utang-utangnya PT Rantau Utama Bhakti Sumatera (RUBS).
Menanggapi gugatan kepailitan terhadap PT BME tersebut, Dosen dan Ahli Hukum Perdata dari Universitas Diponegoro, Dr. Siti Mahmudah mengatakan penyelesaian utang sebetulnya tak harus melalui pengadilan.
“Tergantung dari kemauan masing-masing pihak. Pihak debitor mau tidak membayar utangnya,” kata Mahmudah kepada wartawan, pada Selasa (1/8/2023).
Mahmudah menjelaskan bahwa penyelesaian utang dilakukan melalui jalur litigasi dapat melalui proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan kepailitan.
“PKPU maupun kepailitan merupakan suatu cara untuk menyelesaikan utang. Utang itu tetap utang selama belum dibayar, kecuali pihak yang punya utang melunaskan," tegasnya.
Lebih lanjut, Mahmudah menambahkan, penyelesaian utang antara kreditor dan debitor dapat terjadi apabila debitor mengajukan rencana perdamaian dan disetujui oleh kreditor.
Adapun rencana perdamaian dapat diajukan debitur sebagaimana diatur di Pasal 144 UU nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Debitor Pailit berhak untuk menawarkan suatu perdamaian kepada semua Kreditor.
“PKPU itu isinya kan membicarakan rencana perdamaian si debitor. Secara garis besar isinya restrukturisasi utang. Kalau itu tercapai berarti penyelesaian utangnya berupa restrukturisasi utang. Jangka waktu penundaan pembayaran kewajibannya 270 hari. Jadi 270 hari itu sudah harus tercapai perdamaian yang di homologasikan yang intinya restrukturisasi utang,” ucapnya.
Sementara berbeda dengan PKPU, rencana perdamaian dalam kasus kepailitan dapat diajukan kapan saja sepanjang sebelum rapat pencocokan piutang ditutup. Oleh karenanya, debitor sebaiknya mengajukan perdamaian jika tak ingin dinyatakan pailit.
“Kalau itu tidak tercapai, maka debitor dalam kondisi pailit, dan dalam kondisi insolvensi,” jelasnya.
Mahmudah juga mengingatkan, akan ada akibat hukum bagi perusahaan yang dinyatakan pailit.
“PT sebagai subyek hukum tidak bisa lagi menjalankan operasional, sebagai obyek hukum punya harta kekayaan, harta kekayaan PT mengalami sita secara umum,” katanya.
Setelah debitur dinyatakan pailit, ada tindakan yuridis, pertama pencocokan utang, para kreditur mengajukan piutang kepada kurator.
“Debitor punya hak untuk mengajukan perdamaian, debitor dan kreditor membicarakan bagaimana cara penyelesaian hutang. Kalau sudah disepakati harus di homologasikan, kalau tidak disepakati, kepailitannya berakhir di situ,” katanya.
Kepailitan dan PKPU merupakan salah satu instrumen hukum yang tidak tunduk pada asas nebis in idem.
“Kalau penyelesaian utang itu melalui PKPU, maka kalau utangnya belum selesai bisa di PKPU kan kembali. Demikian juga dengan kepailitan, kalau penyelesaian utangnya belum tercapai, bisa dipailitkan kembali. Jadi, tidak ada nebis in idem penyelesaian utang melalui PKPU maupun kepailitan karena dasar penyelesaian utangnya adalah KUHPerdata. Utang tetap ada sebelum dilunasi,” katanya.
Mahmudah menambahkan bahwa pailit tidak selalu membuat perusahaan berakhir.
“Perusahaan yang telah dinyatakan pailit tidak selalu harus berakhir, karena masih ada tindakan yang disebut dengan rehabilitasi. Rehabilitasi itu bisa tercapai jika dalam pemberesan itu ada surat pernyataan dari para kreditur intinya mereka puas atas penyelesaian utang yang dilakukan oleh debitor,” katanya.
"Kalau nanti dapat surat pernyataan itu debitor bisa mengajukan rehabilitasi dan perusahaan tetap dapat melanjutkan kegiatan usahanya,” tambah Mahmudah.
Dalam penjelasan Pasal 215 UU nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang dimaksud dengan rehabilitasi adalah pemulihan nama baik Debitor yang semula dinyatakan pailit, melalui putusan Pengadilan yang berisi keterangan bahwa Debitor telah memenuhi kewajibannya.
Editor : Kartika Indah Kusumawardhani