DEPOK, iNewsDepok.id - Niat puasa apa sebenarnya makna dan fungsinya untuk Muslim yang melaksanakan puasa, terutama puasa bulan Ramadhan.
Ustaz Sofyan Chalid bin Idham Ruray, Lc hafizhahullah pun memberikan penjelasannya sebagai berikut.
Pertama: Makna Niat
Makna niat secara bahasa adalah bermaksud (القصد).
Adapun secara istilah adalah,
العزم على فعل العبادة تقربا إلى الله تعالى
“Bertekad untuk melakukan ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah ta’ala.” [Taysirul ‘Allaam Syarhu ‘Umdatil Ahkam, 1/18]
Kedua: Dua Fungsi Niat
1) Fungsi niat yang pertama adalah untuk membedakan tujuan ibadah, apakah karena Allah atau karena selain-Nya, maka ibadah yang diterima hanyalah ibadah yang ikhlas karena Allah subhanahu wa ta’ala, sebagaimana firman-Nya,
وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا الله مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء
“Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Allah saja dengan mengikhlaskan semua ibadah hanya kepada-Nya serta berpaling dari kesyirikan.” [Al-Bayyinah: 4]
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
إنَّمَا الأعْمَالُ بَالْنيَاتِ، وَإنَّمَا لِكل امرئ مَا نَوَى، فمَنْ كَانَتْ هِجْرَتهُ إلَى اللّه وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتهُ إلَىاللّه وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرتُهُ لِدُنيا يُصيبُهَا، أو امْرَأةيَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُه إلَى مَا هَاجَرَ إليهِ
“Sesungguhnya amalan-amalan manusia tergantung niat, dan setiap orang mendapatkan balasan sesuai niatnya. Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka ia mendapatkan pahala hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa hijrahnya karena dunia yang ingin ia raih, atau wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia niatkan.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu]
Perusak niat adalah riya dan sum’ah, yaitu beribadah karena ingin diperlihatkan atau diperdengarkan kepada orang lain agar mendapat pujian.
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ قَالُوا : وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللهِ ؟ قَالَ : الرِّيَاءُ ، يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ : إِذَا جُزِيَ النَّاسُبِأَعْمَالِهِمْ : اذْهَبُوا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاؤُونَ فِي الدُّنْيَا فَانْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً
“Sesungguhnya yang paling aku takuti menimpa kalian adalah syirik kecil. Para sahabat bertanya: Apa itu syirik kecil wahai Rasulullah? Beliau bersabda: Itulah riya’. Dan ketika amalan-amalan manusia telah dibalas pada hari kiamat, Allah ‘azza wa jalla berfirman: Pergilah kalian kepada orang-orang yang dahulu kalian perlihatkan amalan-amalan kalian, maka lihatlah apakah kalian akan mendapatkan balasan dari mereka?!” [HR. Ahmad dari Mahmud bin Labid radhiyallahu’anhu, Ash-Shahihah: 951]
Dan niat yang ikhlas dalam berpuasa adalah sebab yang menjadikan ibadah puasa itu bernilai dan berpahala besar.
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى
“Setiap amalan anak Adam dilipatgandakan, satu kebaikan menjadi sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali. Allah ‘azza wa jalla berfirman: Kecuali puasa, sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku-lah yang akan membalasnya, karena ia telah meninggalkan syahwatnya dan makanannya karena Aku.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim, dan lafaz ini milik Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]
Dalam riwayat lain,
يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ : الصَّوْمُ لِي ، وَأَنَا أَجْزِي بِهِ ، يَدَعُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي
“Allah ‘azza wa jalla berfirman: Puasa itu untuk-Ku, dan Aku-lah yang akan membalasnya, sebab ia telah meninggalkan makanannya, minumannya dan syahwatnya karena Aku.” [HR. Ahmad dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]
2) Fungsi niat yang kedua adalah untuk membedakan jenis ibadah, yaitu membedakan antara satu ibadah dengan ibadah lainnya dan membedakan antara ibadah dengan kebiasaan.
Contoh pertama, membedakan antara puasa wajib dan puasa wajib lainnya, karena puasa wajib itu ada tiga macam: Puasa Ramadhan, puasa kaffaroh dan puasa nazar.
Demikian pula membedakan antara puasa wajib dan puasa sunnah, dan membedakan antara puasa sunnah dan puasa sunnah lainnya, karena puasa sunnah banyak macamnya.
Contoh kedua, membedakan antara puasa dan kebiasaan menahan lapar dan dahaga.
Maka apabila di bulan Ramadhan, hendaklah diniatkan berpuasa Ramadhan, andai seseorang berniat puasa kaffaroh atau nazar atau sunnah atau kebiasaan saja, maka tidak sah puasa Ramadhannya menurut pendapat yang paling kuat insya Allah.[1]
Demikian pula, andai seseorang berpuasa tanpa berniat sama sekali maka tidak sah puasanya, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,
إنَّمَا الأعْمَالُ بَالْنيَاتِ، وَإنَّمَا لِكل امرئ مَا نَوَى
“Sesungguhnya amalan-amalan manusia tergantung niat, dan setiap orang mendapatkan balasan sesuai niatnya." [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Umar Bin Khaththab radhiyallahu’anhu]
Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim rahimahullah berkata,
وَقَدْ اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ الْعِبَادَةَ الْمَقْصُودَةَ لِنَفْسِهَا كَالصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ وَالْحَجِّ لَا تَصِحُّ إلَّا بِنِيَّةِ
“Dan telah sepakat ulama bahwa ibadah yang dimaksudkan karena ibadah itu sendiri seperti sholat, puasa dan haji, tidak sah kecuali dengan niat.” [Majmu’ Al-Fatawa, 18/257]
Ketiga: Cara Berniat
Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim rahimahullah berkata,
كُلُّ مَنْ عَلِمَ أَنَّ غَدًا مِنْ رَمَضَانَ وَهُوَ يُرِيدُ صَوْمَهُ فَقَدْ نَوَى صَوْمَهُ
“Setiap orang yang mengetahui bahwa besok hari termasuk bulan Ramadhan, dan ia ingin berpuasa maka sesungguhnya ia telah berniat puasa.” [Majmu’ Al-Fatawa, 25/215]
Maka cara berniat puasa sungguh sangat mudah. Dan niat tempatnya di hati, melafazkannya baik sendiri maupun berjama’ah termasuk mengada-ada dalam agama, tidak ada contohnya dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, tidak pula dari sahabat dan tabi’in, tidak juga dari imam yang empat; Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad rahimahumullaahu ta’ala.
Keempat: Apakah Wajib Menentukan Niat atau Boleh Berniat Secara Muthlaq?
Menentukan niat atau berniat secara mu’ayyan, maknanya adalah menetapkan dalam hati bahwa niatnya untuk berpuasa Ramadhan, misalkan.
Adapun berniat secara muthlaq adalah tanpa menentukan puasa tertentu.
Pendapat yang kuat insya Allah adalah wajib menentukan niat berpuasa Ramadhan apabila seseorang mengetahui bahwa bulan Ramadhan telah masuk, karena puasa wajib Ramadhan itulah yang Allah perintahkan kepadanya.[2]
Kelima: Bolehkah Berniat Secara Mu’allaq?
Misalkan ketika seseorang masih ragu apakah sudah masuk Ramadhan atau belum, lalu ia berniat apabila besok Ramadhan maka puasanya adalah wajib dan apabila belum masuk Ramadhan maka puasanya sunnah, ini yang dimaksud berniat secara mu’allaq (niat yang menggantung). Pendapat yang benar insya Allah adalah sah niatnya.[3]
Namun apabila seseorang ragu akan masuknya Ramadhan hendaklah ia tidak berniat puasa Ramadhan karena ada larangan berpuasa di hari yang diragukan.
Sahabat yang Mulia Ammar bin Yasir radhiyallahu’anhuma berkata,
مَنْ صَامَ يَوْمَ الشَّكِّ فَقَدْ عَصَى أَبَا القَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Barangsiapa berpuasa di hari yang diragukan maka ia tidak taat kepada Abul Qoshim (Nabi Muhammad) shallallahu’alaihi wa sallam.” [HR. Al-Bukhari]
Keenam: Waktu Berniat Puasa Wajib
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
“Barangsiapa tidak berniat puasa sejak malam hari maka tidak ada puasa baginya.” [HR. An-Nasaai dari Hafshah radhiyallahu’anha, Shahihul Jaami’: 6535]
Hadits yang mulia ini menunjukkan kewajiban berniat puasa di malam hari. Dan waktu malam hari adalah setelah terbenam matahari (waktu Maghrib) sampai terbit fajar (waktu Shubuh).
Barangsiapa tidak berniat di malam hari maka tidak sah puasanya, kecuali orang yang baru mengetahui masuknya Ramadhan di siang hari atau baru diwajibkan atasnya puasa Ramadhan di siang hari, seperti orang yang baru masuk Islam, anak yang mencapai baligh dan orang hilang akal yang sadar, maka pendapat yang kuat insya Allah adalah hendaklah mereka berniat pada saat itu juga dan mulai berpuasa sampai terbenam matahari.
Kecuali anak wanita yang mencapai baligh dengan keluarnya haid maka tidak boleh baginya berpuasa sampai suci, sebagaimana telah dibahas sebelumnya.
Ketujuh: Waktu Berniat Puasa Sunnah
Adapun waktu berniat puasa sunnah maka pendapat yang kuat insya Allah adalah boleh pada siang hari, baik sebelum tergelincir matahari maupun sesudahnya, sebagaimana dinukil dari sebagian sahabat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.[4]
Dan berdasarkan hadits Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha, beliau berkata,
دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ: «هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ؟» فَقُلْنَا: لَا، قَالَ: «فَإِنِّي إِذَنْ صَائِمٌ» ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ، أُهْدِيَ لَنَا حَيْسٌ فَقَالَ: «أَرِينِيهِ، فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا» فَأَكَلَ
“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menemui aku suatu hari seraya berkata: Apakah kalian punya makanan? Maka kami berkata: Tidak. Beliau pun bersabda: Kalau begitu aku berpuasa. Kemudian beliau mendatangi kami di hari yang lain, maka kami berkata: Wahai Rasulullah, kami dihadiahkan makanan haisun,[5] beliau bersabda: ‘Perlihatkanlah makanan itu kepadaku, sungguh aku berpuasa pagi ini.’ Beliau pun makan.” [HR. Muslim]
Akan tetapi kebolehannya dengan syarat belum melakukan pembatal puasa di hari tersebut, tanpa ada khilaf ulama atas syarat ini.[6]
Dan pahala puasanya dimulai sejak berniat, maka orang yang berniat puasa sunnah di pagi hari lebih afdhal daripada yang berniat di siang hari.[7]
Oleh karena itu puasa sunnah yang ditentukan jenisnya seperti puasa Senin Kamis, Asyuro, Arafah, enam hari di bulan Syawwal dan lain-lain hendaklah diniatkan sejak malam hari agar mendapat pahala puasa satu hari penuh, sebab apabila seseorang berniat puasa di pagi hari maka ia hanya berpuasa di sebagian hari bukan sehari penuh.[8]
Kedelapan: Apakah Niat Puasa Ramadhan Cukup Sekali Niat untuk Sebulan ataukah Harus Setiap Malam?
Pendapat yang kuat insya Allah cukup sekali niat untuk sebulan penuh Ramadhan, berdasarkan keumuman dalil tentang niat, kecuali apabila puasa seseorang terhenti karena sakit atau safar maka ketika ia memulainya kembali hendaklah berniat kembali.
Oleh karena itu apabila seseorang tertidur misalkan sebelum Maghrib dan terbangun setelah masuk waktu Shubuh, tanpa sempat berbuka, tanpa sahur dan tanpa berniat untuk hari berikutnya maka puasanya untuk hari berikutnya itu sah karena pada asalnya ia telah berniat puasa sebulan penuh.[9]
Kesembilan: Niat dapat Membatalkan Puasa
Barangsiapa berniat membatalkan puasa atau menghentikan puasanya di siang hari maka puasanya batal, walau ia tidak melakukan pembatal puasa, karena ibadah bergantung kepada niat, berdasarkan keumuman dalil.[10]
Oleh karena itu, apabila seseorang tidak mendapati makanan dan minuman untuk berbuka, boleh baginya berbuka dengan meniatkannya saja, dan tidak perlu menghisap jari atau mengumpulkan ludahnya lalu menelan kembali.[11]
Kesepuluh: Status Puasa Orang yang Berniat Akan Membatalkannya
Orang yang berniat akan membatalkan puasanya, seperti apabila mendapati makanan atau minuman maka puasanya tidak batal sampai ia makan atau minum.[12]
Kaidahnya adalah, barangsiapa berniat keluar dari ibadah maka batal ibadahnya kecuali pada haji dan umroh, dan barangsiapa berniat akan melakukan salah satu pembatal ibadah maka ibadahnya tidak batal sampai ia melakukannya.[13]
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
Catatan Kaki:
[1] Lihat Majmu’ Fatawa Syaikhil Islam Ibni Taimiyah rahimahullah, 25/101.
[2] Lihat Majmu’ Fatawa Syaikhil Islam Ibni Taimiyah rahimahullah, 25/101.
[3] Lihat Al-Mustadrak ‘ala Majmu’ Fatawa Syaikhil Islam Ibni Taimiyah rahimahullah, 3/172.
[4] Lihat Majmu’ Fatawa Syaikhil Islam Ibni Taimiyah rahimahullah, 25/120.
[5] Haisun adalah makanan yang terbuat dari kurma, keju dan minyak, lihat Taudhihul Ahkam, 3/465.
[6] Lihat Taudhihul Ahkam, 4/466.
[7] Lihat Majmu’ Fatawa Syaikhil Islam Ibni Taimiyah rahimahullah, 25/121 dan Syarhul ‘Umdah, 1/194, sebagaimana dalam Ash-Shiyaamu fil Islam, hal. 105.
[8] Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/373-374, sebagaimana dalam Ash-Shiyaamu fil Islam, hal. 106.
[9] Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/356 dan Taudihul Ahkam, 3/467-468.
[10] Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/363 dan Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 9/139 no. 14594.
[11] Lihat Majmu’ Fatawa wa Rosaail Ibnil ‘Usaimin rahimahullah, 10/261.
[12] Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/364.
[13] Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/364.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta