Karena alasan kemudahan, media baca yang digunakan saat itu adalah Bibel. Secara historis, penggunaan Bibel dalam pengajaran pribumi sesuai dengan prinsip Gold, Glory, Gospel (3G), sebuah semboyan yang mendasari penjelajahan samudera oleh bangsa-bangsa Eropa sejak abad ke-15 Masehi.
“Kalimat pertama dari Bibel (yang diterjemahkan) ke dalam Bahasa Indonesia adalah Kitab Kejadian 1 Ayat 1. Karena media bacanya itu (Bibel), mereka baca sampai habis,” tutur Boy.
Barulah setelah menguasai kemampuan baca-tulis, para budak mempelajari cara berorganisasi dan bermasyarakat di bawah kepemimpinan seorang tangan kanan Chastelein. Boy lmengatakan bahwa kebijakan Politik Etis (Etische Politiek) yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda memberi keleluasaan bagi mereka untuk menanam berbagai komoditas perkebunan dan menentukan sendiri harga jualnya.
Seiring berjalannya waktu, keinginan Chastelein untuk terus menentang perbudakan oleh Belanda terhadap kaum pribumi di Indonesia berujung pada pembebasan 150 budaknya. Tanah yang telah dibelinya pun dihibahkan kepada mereka. Boy menilai keputusan ini sebagai hal yang luar biasa.
“Itu sangat luar biasa. Dari posisi budak, posisi yang paling rendah, tiba-tiba menjadi pemilik tanah. Dan dalam sejarah dunia belum pernah terjadi seperti itu. (Chastelein) hanya satu-satunya,” paparnya.
Editor : M Mahfud