DEPOK, iNewsDepok.id - PT Kereta Api Indonesia (Persero) terus berbenah memberikan layanan terbaik kepada penggunanya. Salah satunya layanan kereta api kelas ekonomi yang dulu terkesan tidak nyaman, namun saat ini sudah terlihat berkelas. Perubahan tersebut menyisakan kenangan bagi para pengguna kereta api (KA) khususnya kelas ekonomi.
Perbaikan layanan kereta api tersebut tidak lepas dari tangan dingin mantan Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia Ignasius Jonan.
Dahulu pengguna kereta api yang ingin merasakan sejuknya AC hanya bisa dirasakan di kelas eksekutif. Namun sekarang seluruh rangkaian kereta api tersebut sudah menggunakan AC, termasuk kelas ekonomi. Tidak hanya itu Jonan juga mereformasi sistem perkeretaapian Indonesia, yang membuat layanan perusahaan ular besi tersebut makin lebih aman dan nyaman.
Wajar saja, para pencinta kereta api memberikan label kepada Jonan sebagai Bapak Perkeretaapian Indonesia. Tidak hanya itu, saat menjabat Menteri Perhubungan Jonan diganjar penghargaan berupa lencana bintang jasa “Chevalier de la Legion d'Honneur” dari presiden Prancis Y.M Francois Hollande pada tahun 2016.
Hal tersebut diberikan kepada Jonan karena dianggap telah memberikan sumbangsih yang besar dalam memajukan dan memodernisasikan perkeretaapian sebagai salah satu moda transportasi massal yang sangat dibutuhkan di Indonesia.
Namun kenangan sebagian masyarakat terhadap kereta api ekonomi di Indonesia masih melekat di ingatan. Mulai dari harus berdesak-desakan, bertemu pengamen, pedagang asongan hingga kucing-kucingan dengan kondektur karena tidak memiliki tiket.
Tim iNews Depok merangkum ingatan para penumpang kereta api kelas ekonomi dari masa ke masa, Rabu (4/1/2023). Berikut tujuh rangkumannya:
1. Tiket tidak sesuai nama kereta api, tetapi di kelas ekonomi dan tujuan yang sama
Di era Perusahaan Umum Kereta Api (Perumka), hingga berubah ke PT Kereta Api pada tahun 1999 - 2010, kita bisa membeli tiket kereta ekonomi yang dapat digunakan di semua kelas ekonomi, dengan catatan memiliki trayek yang sama.
Ilustrasi tiket kereta api. Foto: Tama/iNews Depok.
Contohnya, jika kita membeli tiket dari Jakarta ke Purwokerto dengan KA Progo (relasi Pasar Senen - Lempuyangan), tiket tersebut bisa digunakan di rangkaian KA Bengawan (saat itu relasi Tanah Abang - Solo Jebres). Kedua kereta api tersebut sama-sama melintasi Purwokerto.
2. Tidak beli tiket, ikut arisan pasukan PJKA
Tiket kereta ekonomi lawas. Foto: Facebook/Nugrah Dwiyanto
Istilah singkatan PJKA bukan merujuk pada arti sesungguhnya (Perusahaan Jawatan Kereta Api), tetapi merupakan plesetan yang berarti 'Pulang Jum'at Kembali Ahad'. Istilah itu sering ditujukan bagi warga daerah yang bekerja di ibu kota Jakarta, namun sering pulang kampung di akhir pekan.
Nah, bagi kalian pasukan PJKA asal Purwokerto, Kebumen, Yogyakarta atau Semarang pasti akrab dengan istilah arisan gerbong belakang.
Contohnya dahulu terjadi di KA Progo pada hampir setiap akhir pekan. Arisan yang dimaksud di sini adalah, ketika para penumpang yang kehabisan tiket namun ingin pulang, mereka sering naik kereta di gerbong bagian belakang. Di mana di gerbong tersebut terdapat orang yang dianggap pemimpin rombongan.
Bagi kalian yang tidak memiliki tiket, cukup membayar ke ketua rombongan tersebut. Tentu saja, harga di bawah tiket resminya.
Ketua rombongan akan memberikan sandi ke penumpang tersebut, jika berhadapan dengan kondektur. Bukan rahasia umum, ini merupakan permainan antara ketua rombongan dengan kondektur yang bertugas.
Tidak hanya itu, bagi kalian yang ingin mendapatkan tempat duduk biasanya para penumpang akan datang ke gerbong restorasi atau kereta makan, agar mendapatkan tempat duduk. Tentunya ada biaya 'tambahan' yang harus dibayar ke salah satu petugas restorasi
3. Demi pulang, rela berdiri berjam-jam bahkan harus menumpang di toilet
Dahulu tiket kereta api kelas ekonomi dijual tanpa tempat duduk. Jadi prinsip yang digunakan adalah siapa cepat maka dia yang akan mendapatkan tempat duduk.
Tiket yang dikeluarkan pun cukup banyak dan kadang tidak seimbang dengan jumlah penjualan tiket. Hingga akhirnya mau tidak mau para penumpang harus rela berdiri, karena tidak mendapatkan tempat duduk.
Mereka harus rela duduk di selasar lorong gerbong, bordes bahkan di toilet kereta api. Bahkan jika kalian beruntung bisa tidur di kolong bangku penumpang.
Kalian harus rela saat tidur di selasar gerbong tersebut, tubuh kalian dilangkahi oleh para penumpang lain atau para pedagang asongan yang melintas.
Hal tersebut kini tidak terjadi, karena penjualan tiket saat ini sudah sesuai dengan jumlah tempat duduk.
Penumpang kereta api kelas ekonomi. Foto: blogspot/Agung Pambudhy
4. Cengkerama dengan asongan di dalam rangkaian kereta api
Rangkaian kereta api ekonomi saat itu belum menggunakan AC. Hal tersebut membuat para penumpang membuka jendela agar mendapatkan angin segar.
Namun tentunya pasti menambah bisingnya suara yang dapat dirasakan di dalam rangkaian kereta api, belum lagi para pedagang asongan, yang dalam hitungan menit bisa berkali-kali melintas.
Tetapi itu jadi kenangan tersendiri ketika kita bisa menikmati seduhan kopi hitam, mie instan dalam cup atau wedang jahe.
Setiap daerah memiliki karakter masing-masing pedagang asongan. Seperti di petak Bumiayu - Kroya, Jawa Tengah, kita bisa menantikan nikmatnya pedagang pecel. Hal yang sama jika kita memasuki Stasiun Madiun, yang khas dengan pecel Madiun. Atau teriakan khas pedagang jajanan wingko babat.
Satu lagi, yang khas bagi para penumpang kereta api ekonomi adalah teriakan para pedagang nasi rames di Stasiun Cirebon.
Pedagang asongan di Stasiun Cirebon Prujakan. Foto dokumentasi: Tama/iNews Depok.
5. Rajin siapkan uang receh, karena banyak pengamen dan tukang sapu
Rangkaian kereta api ekonomi saat ini sudah memiliki petugas On Train Cleaning (OTC), yang tugasnya membersihkan sampah di tiap rangkaian, sehingga membuat kereta api ekonomi saat ini selalu terlihat bersih.
Namun di rangkaian kereta ekonomi saat itu, tidak tersedianya petugas OTC kereta api selama perjalanan. Sehingga tidak kaget jika rangkaian gerbong terlihat kumuh dan banyak sampah.
Hal tersebut dimanfaatkan oleh pengemis yang berkedok sebagai tukang sapu kereta api. Tidak jarang, mereka juga memalak penumpang.
Selain tukang sapu dadakan, para penumpang kelas ekonomi akan disuguhi nyanyian artis-artis pengamen di dalam kereta api. Ada pengamen yang memiliki suara dan permainan musik yang bagus, ada juga yang hanya memanfaatkan tepukan tangan untuk mengiringi lagu yang dibawakannya secara fals.
Oleh karena itu, para penumpang kelas ekonomi harus menyiapkan uang receh untuk menyambut mereka.
Pengamen di kereta api. Foto: Facebook/Ika Soewadji
6. Menikmati pemandangan sambil membuka pintu bordes
Sebenarnya tindakan ini sangat berbahaya, namun bagi para penumpang kereta api menjadi ciri khas tersendiri saat menikmati perjalanan kereta api.
Dengan tetap berhati-hati terkadang penumpang menikmati pemandangan sambil menikmati segelas kopi yang disajikan dari pedagang asongan.
7. Kereta telat dua jam sudah biasa
'...Duduk aku menunggu
Tanya loket dan penjaga
Kereta tiba pukul berapa
Biasanya kereta terlambat
Dua jam mungkin biasa...'
Tidak salah Iwan Fals dalam lagunya berjudul 'Kereta Tiba Pukul Berapa' menggambarkan kondisi perkeretaapian pada saat itu. Bagi kalian penumpang kereta api ekonomi (khususnya sebelum tahun 2010), kereta tiba tidak tepat waktu adalah hal biasa. Bahkan keterlambatan bisa sampai dua jam atau lebih.
Maklum saja, selama perjalanan kereta api kelas ekonomi sering menjadi korban kereta dengan kasta yang lebih tinggi seperti kelas bisnis atau eksekutif.
Tujuh poin di atas mungkin sudah tidak ditemukan lagi di rangkaian kereta api ekonomi saat ini. Mengingat PT KAI sudah memberikan layanan terbaik yang membuat para penumpangnya berasa nyaman dan aman.
Bagaimana warga Depok dan sekitarnya? Punya kenangan manis yang lain dengan kereta ekonomi pada zaman dahulu?
Petugas Pengatur Perjalanan Kereta Api Stasiun Soka. Foto: Tama/iNews Depok.
Editor : Mahfud