JAKARTA, iNewsDepok.id - Kami masih menikmati sore menjelang senja bersama warga negara Belanda, Christa Noella Wongsodikromo dan teman dari Indonesia-nya Vanial Aulia Kurniawan. Sembari menyisir wilayah wisata Kota Tua, layaknya warga ibu kota yang mengabiskan sisa waktu liburan akhir pekan, Minggu (13/11/2022).
Langkah kaki terhenti di halaman Gedung Museum Fatahillah. Di ujung lapangan tertanam plat besi di bentaran lantai yang kami pijak. Plat besi yang menceritakan tentang riwayat pembangunan wilayah Kota Tua Jakarta, yang digadang sebagai pusat pemerintahan era Hindia Belanda.
Kota Tua (Oud Batavia), memiliki julukan yang diberikan oleh penjajah untuk Kota Tua Jakarta (Batavia saat itu) adalah 'The Pearl of Orient' atau 'Mutiara dari Timur'. Karena pihak Belanda beranggapan jika saat itu Batavia sedianya akan dipersiapkan untuk menjadi tiruan ibu kota negeri kincir angin, sehingga diberi nama "Koningen van Oosten" atau "Ratu dari Timur".
Kota Batavia didirikan di sebuah wilayah yang dulunya bernama Jayakarta (1527-1619).
Tahun 1610, pelabuhan Sunda Kelapa dan Jayakarta ditaklukan oleh perusahaan dagang Belanda (Verenigde Oostindische Compagnie) yang dipimpin Jan Pieterzoon Coen. Hingga akhirnya pada tahun 1620, pemerintahan kolonial melalui VOC membangun kota yang baru, tepat di atas reruntuhan Kota Jayakarta.
Pada tahun 1650, pemerintah kolonial tersebut menamainya dengan sebutan Batavia.
Mengulir Alur Keluarga Masa Lalu
Dalam perjalanannya di kawasan Kota Tua itu, Christa masih memendam kekecewaan terhadap penjajahan kolonial Belanda, termasuk VOC.
Kekecewaannya bukan tanpa sebab. Karena penjajahan itu yang membuat keluarganya tercerai berai di Suriname, Belanda dan Indonesia.
Di sela perjalanan kami, Christa kembali bercerita tentang riwayat perjalanan kakek buyutnya, hingga harus menetap di Suriname, tanpa bisa pulang ke tanah kelahirannya di Pulau Jawa.
Sembari berlibur di Kota Tua Jakarta, Christa datang ke Indonesia juga untuk mengunjungi sisa keluarganya di Jawa Tengah, Minggu (13/11/2022). Tama/ iNews Depok.
"Mereka (kakek buyut) diberangkatkan naik kapal dari Jawa ke Suriname sebagai seorang Muslim. Mereka berpamitan kepada keluarganya untuk kembali dalam waktu dekat. Mereka tak pernah benar-benar pamit. Ketika dibawa, mereka tak tahu akan ke mana dan tak tahu bahwa nyatanya mereka tak akan pernah kembali," kata Christa.
Ia juga bercerita tentang nama 'Wongsodikromo' yang melekat di nama lengkapnya.
Christa merupakan generasi keempat kakek buyutnya yang bernama Wongsodikromo. Nama tersebut juga pemberian paksa oleh pemerintah kolonial Belanda kepada kakek buyutnya, ketika mereka dipindahkan ke Suriname dari Indonesia.
"Aku generasi keempat. Saat itu kakek dan nenek buyutku tiba di Suriname dan mendapatkan nama yang diberikan oleh pemerintah Belanda bernama Wongsodikromo," kata Christa kepada iNews Depok.
Christa juga menghimpun catatan sejarah keluarganya di masa lalu. Ia mengaku kakek dan nenek buyutnya memiliki sekitar delapan anak. Dan anak terakhir dari keluarga Wongsodikromo yang perempuan, merupakan nenek dari Christa.
"Buyut saya memiliki tujuh atau delapan anak, saya kurang terlalu ingat. Di antaranya ada di Indonesia. Nenekku adalah anak terakhir, dan tinggal di Suriname," ujarnya.
Dari neneknya tersebut lahir dua orang anak kembar, yang mana salah satunya ayah Christa. Salah satunya sempat ada yang bekerja di Papua. Meskipun akhirnya harus kembali ke Suriname.
Selanjutnya, ayah Christa diadopsi oleh sepasang misionaris dari Belanda. Dan akhirnya mereka pindah ke Belanda hingga saat ini.
"Nenekku melahirkan dua anak pria kembar, dan salah satunya ayahku. Ayahku diadopsi oleh pasangan misionaris Belanda, dan mereka harus terpisah lagi lalu tinggal di Belanda," ujar perempuan yang tinggal di Leiden, Belanda.
Setelah diadopsi di Belanda, praktis ayahnya tidak pernah bertemu ibunya yang berada di Belanda. Namun sekitar tahun 1992, ayahnya bisa bertemu kembali dengan ibunya yang berada di Suriname.
"Dan mungkin sekitar 30 tahun lalu, ayahku bisa kembali bertemu dengan ibunya, serta saudara kembarnya," kata Christa, yang pada Desember mendatang genap berusia 29 tahun.
Tahun 2013, saat Christa berumur 20 tahun menjadi titik balik untuk mempelajari sejarah masa lalu keluarganya. Iya aktif dalam organisasi, serta melakukan riset tentang penjajahan kolonial Belanda. Dia juga aktif dalam komunitas Indonesia baik di Belanda atau Suriname.
"Saya membuat komunitas tentang Indonesia, saya juga sering mengadakan seminar dan memberi pemahaman tentang sejarah kolonial. Bahkan di Suriname, saya juga memberi edukasi tentang Indonesia, tempat dari mana mereka berasal. Dan mereka tidak boleh lupa dengan tanah leluhur Indonesia," ujarnya.
Dari kisah itu, Christa ingin mencari tahu sisa keluarganya yang berada di Indonesia. Berdasarkan informasi dari pamannya, Christa masih memiliki keluarga dari kakek buyutnya yang berada di Jawa Tengah.
Dan itu bukan hal mudah bagi Christa untuk menemukan jati diri keluarga, di tanah leluhurnya. (Bersambung)
Selain berwisata mengunjungi Kota Tua Jakarta, Christa dan temannya juga mencicipi kuliner lokal di sekitar Tamansari, Jakarta Barat, Minggu (13/11/2022). Tama/ iNews Depok.
Editor : M Mahfud