get app
inews
Aa Text
Read Next : BI: Utang Luar Negeri Indonesia Tembus Rp6.206 Triliun per Agustus 2023

Miris! Utang Luar Negeri Membengkak, di Sisi Lain Belanja Daerah Tidak Efisien

Rabu, 08 Desember 2021 | 09:35 WIB
header img
Menteri Keuangan Sri Mulyani. Foto: Sindonews.

 

Jakarta, iNews.id -  Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaporkan tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga sudah melampaui pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dan penerimaan negara.

"Kerentanan utang tahun 2020 telah melampaui batas yang direkomendasikan IMF atau International Debt Relief (IDR)," tulis laporan BPK, Selasa (7/12/2021)

"Agar bagaimana sumber keuangan daerah dapat menghasilkan output serta outcome yang terbaik bagi masyarakat dan terjaga akuntabilitasnya," lanjut BPK.

Sementara itu Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengungkapkan belanja daerah kerap tidak fokus dan efisien. Ia juga menyinggung daerah suka menghambur-hamburkan uang dengan menggelar banyak kegiatan.

Padahal, di sisi lain utang luar negeri terus membengkak hingga mencapai USD423,1 miliar atau setara Rp6.000 triliun pada akhir kuartal III/2021.

Tak hanya itu, APBN juga masih mengalami defisit cukup besar 5,7% PDB atau senilai Rp1.006,4 triliun.

Defisit sebesar itu dengan menghitung belanja negara sebesar Rp2.750 triliun, termasuk diantaranya digunakan untuk transfer ke daerah Rp795,5 triliun.

Terkait belanja daerah, Sri Mulyani menyoroti besarnya belanja pegawai negeri sipil (PNS) di daerah, diantaranya terkait honorarium.

Sri Mulyani juga membongkar besarnya anggaran perjalanan dinas PNS daerah.

"Besaran uang harian perjalanan dinas yang rata-rata 50% lebih tinggi dari pusat," ungkapnya  dalam Rapat Paripurna DPR ke-10 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2021-2022 di Jakarta, Selasa (7/12/2021).

Menkeu menambahkan, di tengah belanja PNS yang besar itu, realisasi belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) justru tak optimal secara menyeluruh.

Hal ini tercermin dari realisasi pemanfaatan dana alokasi umum (DAU) dari pemerintah pusat mencapai 64,8% hanya untuk memenuhi keperluan belanja pegawai.

Sementara dana alokasi khusus (DAK) dari pusat dijadikan sumber utama untuk belanja modal.

Fakta ini terjadi karena kemampuan daerah untuk mengoptimalkan pendapatan asli daerah (PAD) masih sangat minim.

Tercatat porsi PAD masih di kisaran 24,7% dari APBD dalam tiga tahun terakhir.

Selain itu, ia menilai daerah terlalu mudah menghamburkan uang untuk program dan kegiatan yang terlalu banyak.

Untuk itu pemerintah pusat bersama DPR menginisiasi pembentukan Rancangan Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (RUU HKPD) yang baru saja disahkan jadi Undang-Undang.

"Aturan ini diharapkan bisa mengoptimalkan pengelolaan keuangan daerah ke depan tanpa meresentralisasi keuangan daerah oleh pusat," tandasnya.

Editor : Ikawati

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut