DEPOK, iNewsDepok.id - Setiap orangtua tentu menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya, terutama untuk masa depan mereka.
Namun, tak jarang karena ego, orangtua terlalu mengatur keinginan anak dan tak segan-segan bersikap keras terhadapnya jika apa yang dia inginkan tidak dituruti.
Padahal, sikap seperti ini sangat tidak baik, karena anak yang terlalu sering diatur dan dikerasi tak hanya dapat tumbuh menjadi anak yang cenderung rentan terhadap depresi, tetapi juga dapat tumbuh menjadi anak yang suka membangkang dan bahkan gemar berdusta demi "mengamankan diri" dari kemarahan orangtua, dan tetap mendapatkan apa yang dia inginkan yang menurut dia takkan dapat ia peroleh jika berkata jujur kepada orangtuanya.
Orangtua harus menyadari bahwa sebagaimana halnya dirinya, anak pun diberkahi sifat dan bakat oleh oleh Allah SWT, dan keduanya itu bisa saja berbeda dengan apa yang ada dalam diri orangtuanya. Meskipun sebuah studi yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa sifat seorang anak bisa saja dipengaruhi dari faktor genetik keluarganya.
Hal yang terbaik yang harus dilakukan orangtua selama proses tumbuh kembang anak adalah mengarahkannya agar tubuh menjadi anak dengan kepribadian yang baik, dan berkembang sesuai dengan apa yang ada di dalam dirinya, sehingga dalam proses tumbuh kembang itu anak bukan hanya dapat menemukan jati dirinya, tetapi juga tumbuh dan berkembang sesuai bakat dan kemampuan yang dia miliki.
Banyak cara yang dapat dilakukan orangtua untuk dapat menunaikan "tugas berat" itu dengan baik. Observasi adalah salah satunya.
Selama merawat dan membesarkan anak, orangtua mengamati bagaimana sifat si anak, perilakunya, tingkat kecerdasannya, apa saja yang dia sukai, dan lain sebagainya.
Hasil observasi itu kemudian dianalisa dan disimpulkan untuk kemudian dijadikan pedoman selama merawat dan membesarkannya. Jika orangtua mendapati hal-hal yang membuatnya merasa ganjil, entah karena sang anak terlalu lamban dalam merespon sesuatu.
Sehingga dia kesal, atau sebaliknya; terlalu cepat merespon, sehingga kadangkala orangtua kerepotan dibuatnya, hendaknya orangtua jangan menduga-duga atau melakukan persepsi tanpa dasar pengetahuan yang jelas, karena bisa keliru. Lakukanlah tes untuk mendapatkan jawaban dan solusi yang tepat.
Tes yang dapat dilakukan untuk menjawab permasalahan seperti itu adalah tes intellectual quotient (IQ). Tes ini juga dapat dilakukan orangtua meski tanpa ada masalah yang membebani, misalnya karena orangtua ingin tahu berapa IQ anaknya agar dia dapat memperlakukan dan mengarahkannya dengan benar, dan sebagainya.
Ada empat manfaat yang didapat orangtua dari tes IQ anaknya, yakni dapat mengetahui kelemahan dan kelebihan anaknya, membantu si orangtua untuk menemukan bakat terpendam anaknya yang kemudian dapat dikembangkan, membantunya untuk mengarahkan agar sang anak mendapat pendidikan dan karir yang tepat.
Serta dapat membantu si anak untuk untuk menemukan pola pikirnya sendiri, sehingga tidak mengikuti pola pikir orang lain yang belum tentu benar dan baik baginya.
Menurut Very Well Family, orang tua hendaknya tidak melakukan tes IQ ketika anaknya masih di bawah 5 tahun, karena pada usia itu otak anak belum berkembang, sehingga hasilnya mungkin tidak akurat dan bahkan hasilnya bisa saja berubah seiring bertambahnya usia.
Very Well Family menyarankan tes IQ dilakukan minimal ketika anak berusia 5 dan 8 tahun, karena pada rentang usia ini, anak dianggap sudah mampu secara intelektual untuk menjawab soal tes.
Ada dua jens tes IQ yang biasanya dilakukan pada anak-anak, yakni Tes IQ Kecerdasan Verbal, dan Tes IQ Kecerdasan Nonverbal. Yuk, kita bahas keduanya.
1. Tes IQ Kecerdasan Verbal
Sesuai dengan namanya, jenis tes ini bertujuan untuk menilai kemampuan anak untuk memahami dan memecahkan masalah berbasis bahasa. Artinya, tes ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan anak dalam menganalisis informasi dan memecahkan masalah dengan penalaran berbasis bahasa.
Umumnya tes kecerdasan verbal melibatkan berbagai skill, seperti:
a. Membaca atau mendengarkan kata-kata
b. Berbicara
c. Menulis
d. Berpikir
Menurut Very Well Mind, pada tes jenis ini, tugas yang diberikan meliputi:
a. Mendengarkan dan mengingat informasi lisan
b. Memecahkan masalah berbasis bahasa dari jenis sastra logis, atau sosial
c. Kemampuan untuk melakukan analisis berbasis bahasa yang kompleks
d. Memahami arti dari informasi tertulis atau lisan
e. Memahami hubungan antara konsep bahasa dan melakukan analogi atau perbandingan bahasa.
2. Tes IQ Kecerdasan Nonverbal
Tes ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan anak dalam memahami dan memecahkan masalah berurutan dan spasial. Dari tes ini, hal-hal yang dapat diketahui dari seorang anak adalah:
a. Kognisi
b. Kemampuan intelektual
c. Bakat
d Keterampilan berpikir
e. Kemampuan umum yang dimiliki anak
Umumnya pada tes ini, anak akan dihadapi dengan tugas atau masalah menggunakan penalaran visual, atau langsung.
Hasil tes IQ ini akan diberikan dalam bentuk skor dengan tingkatan sebagai berikut:
1. 69 ke bawah: Intellectual Disability (sangat rendah)
2. 70-79: Borderline (batas fungsi intelektual)
3. 80-89: Low Average (rata-rata rendah)
4. 90-109: Average (rata-rata)
5. 110-119: High Average (rata-rata tinggi)
6. 120-129: Superior (di atas rata-rata)
7. 130 ke atas: Very Superior (cerdas)
Menurut National Institute of Child Health and Human Development, 85% anak-anak dengan gangguan intelektual memiliki hasil tes IQ dengan skor antara 55 dan 70, sementara skor 100 dianggap sebagai nilai rata-rata.
Hasil tes IQ tinggi (di atas 100) biasanya dikaitkan dengan kecerdasan yang tinggi pula, sedang skor 130 atau lebih dianggap sebagai kecerdasan ekstrem.
Meski demikian, skor yang didapat dari tes IQ bersifat stereotip. Hasil tes IQ tinggi biasanya berarti anak memiliki banyak potensi, bukan karena mereka sangat 'pintar'.
(diolah dari berbagai sumber)
Editor : Rohman