JAKARTA, iNews.id - Tokoh Tionghoa Lieus Sungkharisma menyarankan Presiden Jokowi agar membenahi masalah presidential threshold (PT) yang ditetapkan sebesar 20% kursi DPR dan 25% suara nasional sebagaimana diatur dalam pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Pasalnya, menurut dia, pasal 222 itu melanggar pasal 6A ayat (2) UUD 1945 dan juga berpotensi mencederai pasal 1 poin 2 UUD 1945, sehingga digugat banyak pihak ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan mengajukan judicial review (JR). Termasuk oleh dirinya.
"Pak Jokowi kan besok 2024 pas 10 tahun (jadi presiden). Rapihin ini, jangan sia-siakan. Kalau didiemin, rusuh, nih, Pak," kata Lieus melalui video yang diunggah di akun YouTube-nya, Lieus Sungkharisma Official, seperti dikutip Selasa (8/2/2022).
Tokoh yang pernah dijerat kasus makar ini menjelaskan mengapa menurut dia PT 20% berpotensi memicu kerusuhan.
Kemarin-kemarin, kata Lieus, orang belum sadar bahayanya oligarki, bahanya kekuasaan keuangan yang dahsyat yang dapat menguasai Parpol dan menguasai siapa nanti penentu presiden dan wakil presiden berikut kabinetnya.
"Karena itu, Pak, jangan tinggalkan legacy (di mana) Bapak dianggap tidak mampu merapihkan pondasi perpolitikan (di Indonesia), pondasi dimana UUD 1945 diabaikan," katanya.
Seperti diketahui, bahwa pemerintahan Jokowi dikuasai dan dikendalikan oligarki, telah menjadi isu yang telah lama diperbincangkan, bahkan diyakini publik. Isu itu makin menguat setidaknya sejak setelah pemerintah bersama DPR menerbitkan UU Minerba, merevisi UU KPK, dan menerbitkan UU Cipta Kerja yang kontroversial, karena penerbitan beleid-beleid itu disamping tidak melibatkan partisipasi publik, juga diyakini hanya menguntungkan para pengusaha.
Oligarki adalah sistem pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa, baik dari golongan atau kelompok tertentu. Konon, oligarki di balik pemerintahan Jokowi terbentuk akibat mahalnya biaya demokrasi liberal yang saat ini diberlakukan di Indonesia, sehingga setiap calon yang berkompetisi di Pemilu, baik Pilpres, Pileg maupun Pilkada, mencari dukungan dana untuk membiayai kampanyenya, dan pengusaha/pemilik modal adalah tumpuan utama, karena mereka yang memiliki sumber dana.
Tentu, dukungan itu tidak gratis dan harus dibayar setelah si calon terpilih dan berkuasa. Seberapa besar harga yang harus dibayar, tergantung kesepakatan yang dicapai saat dana akan digelontorkan. Maka, tak mengherankan jika pemerintahan yang dikuasai atau dikendalikan oligarki akan lebih mementingkan kepentingan para "bohirnya" dibanding kepentingan rakyat, dan para bohir itu tentu tidak bergerak sendiri-sendiri, melainkan membentuk kelompok agar kebijakan yang dibuat pemerintah tidak merugikan satu pun dari mereka.
Dalam videonya itu, Lieus secara tersirat meyakini kalau oligarki akan terus bercokol jika PT 20% tidak direvisi MK.
Sebab, kata koordinator Koordinator Komunitas Tionghoa Antikorupsi (KomTak) itu, dari sembilan Parpol yang memiliki kursi di DPR, hanya PDIP yang jumlah kursinya mencapai 20%, dan dari sembilan Parpol itu, enam telah berkoalisi ke PDIP, sehingga total kursi ketujuh partai itu di DPR menjadi 82%.
Dua Parpol oposisi, yakni PKS dan Demokrat, hanya memiliki 18% suara, sehingga jika pasal 222 UU Pemilu tidak dirubah, maka kedua Parpol ini tidak dapat mengusung Capres dan Cawapres di Pilpres 2024.
"(Maka), buat apa lagi bikin Pilpres, Bikin Pemilu, menghabiskan biaya banyak, (karena) pemenangnya orang-orang yang main itu-itu saja," kata dia.
Liues mengingatkan, pasal 222 UU Pemilu melanggar pasal 6A ayat (2) UUD 1945, karena pasal 6A ayat (2) mengatakan bahwa "Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum".
"Sayang, anggota DPR kumpul-kumpul bikin aturan yang mengharuskan (PT) 20%. Itu keliru," tegasnya.
Lieus juga mengingatkan kalau ketentuan pasal 222 UU Pemilu itu tak hanya berimbas kepada Parpol lama, tapi juga Parpol-Parpol yang baru terbentuk.
Parpol-Parpol baru itu bermunculan, kata Lieus, karena para pendirinya merasa aspirasi yang disampaikan tidak tertampung, sehingga dengan membentuk partai sendiri, diharapkan dapat mencalonkan Capres dan Cawapres sendiri di pemilihan presiden.
"Tapi dengan adanya PT 20%, berarti mereka nggak bisa ikut," imbuhnya.
Lieus pun kembali mengingatkan bunyi pasal 1 poin 2 UUD 45 yang berbunyi "Kedaulatan di tangan rakyat". Pasal itu mengamanatkan bahwa rakyatlah yang memiliki kedaulatan dan kekuasaan untuk menentukan nasib bangsa ini ke depan.
Namun, lanjut dia, dengan adanya PT 20% yang melanggar UUD 1945, rakyat tak punya keleluasaan untuk memilih presidennya, karena Pilpres 2024 akan kembali dimenangkan oleh kelompok yang sama.
Lieus pun berharap MK akan berpikir ulang jika akan menolak JR pasal 222 yang diajukannya, seperti MK menolak JR yang diajukan orang-orang sebelum dirinya.
Editor : Rohman
Artikel Terkait