DEPOK, iNewsDepok.id - Mulyono Surodiharjo atau Mbah Suro dikenal sebagai dukun sakti kebal senjata. Dia adalah antek Partai Komunis Indonesia (PKI), yang ditakuti kalangan anggota PKI di Desa Nginggil, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Blora,Jawa Tengah.
Kisah mengenai Mbah Suro tertuang dalam buku Ramelan, Mbah Sura Nginggil-Kisah Hancurnya Petualangan Dukun Klenik Mbah Sura, Matoa, Djakarta, 1967.
Konon, Mbah Suro lahir pada 17 Maret 1921. Dia pernah menjabat Kepala Desa atau Lurah Nginggil pada 1952 dan memilih mundur pada 1962.
Mbah Suro lalu mendirikan padepokan atau pertapaan yang mengajarkan klenik pada Januari 1966. Padepokan ini banyak dikunjungi untuk berobat supranatural dan ‘ngelmu’ klenik.
Padepokan Mbah Suro Nginggil dimanfaatkan sebagai tempat penyusunan kekuatan bersenjata oleh antek PKI. Dalam kondisi susahnya ekonomi masyarakat sisa-sisa PKI menyebarkan propaganda antipancasila. Mbah Suro sendiri memang menjadi salah satu anggota Brigade “Jadau” dengan pangkat Sersan pada tahun 1948-1949.
Setelah pecah G30S/PKI, Desa Nginggil menjadi tempat persembunyian pelarian PKI yang mencari tempat aman. Mereka bertemu Mbah Suro yang mengaku sebagai pandita dan melalui pengaruh kekeramatan Mbah Suro mereka gencar melancarkan propaganda kepada masyarakat.
Mereka menyamar sebagai pengunjung dibantu cantrik-cantrik yang sebenarnya adalah pengendalinya. Mereka antara lain Bambang Sumarjo (PKI), Keman (SOBSI) dan Jusuf (tokoh Bakoksi Cepu).
Setiap hari tidak kurang dari 5.000 pengunjung berdatangan ke padepokan Mbah Suro Nginggil. Pengunjung berasal dari berbagai macam lapisan masyarakat di sekitar yang mendapat wejangan Mbah Suro terutama dilakukan pada hari Jumat Wage, Jumat Pahing, dan Jumat Legi.
Mengikuti strategi dasar Perjuta Komunis, mereka menyusun kekuatan dengan membentuk pasukan-pasukan tempur yang terdiri dari laki-laki dan perempuan yang terlatih secara kemiliteran.
Berdasarkan laporan Kopkamtib di obyek Mbah Suro di Desa Nginggil, pasukan laki-laki dinamai Banteng Wulung dan pasukan wanita bernama Banteng Sarinah.
Pasukan Banteng Wulung berkekuatan 200 orang dipimpin oleh Mbah Suro dan dibantu oleh dua cantrik utusan yakni Letda BT (bebas tugas) Suradi dan Letda BT Legi.
Sementara pasukan Banteng Sarinah berkekuatan 30 orang. Pasukan ini memakai seragam hitam-hitam, ikat kepala hitam, dan di lengan ada tanda pengenal berwarna merah atau hijau berupa badge dan tanda kesatuan.
Pasukan Mbah Suro memelihara kumis, jenggot, dan berambut panjang. Dalam melakukan aksinya, Mbah Suro dan pengikutnya melakukan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap musuh.
Tentu aksi ini meresahkan masyarakat yang kemudian direspons pemerintah daerah setempat dengan mengeluarkan Peperda Jawa Tengah. Mbah Suro diperintahkan menutup pertapaan dan melarang menerima tamu-tamu dari luar terutama anggota-anggota ABRI (kini TNI).
Berdasarkan laporan khusus Kodam VII/Diponegoro No.LC.PKP-073/010/3/1967, perintah penutupan tersebut tertuang dalam Surat Keputusan No.: ST-PPD/0036017/1966 tanggal 127-1966 dan Surat Perintah No: Prin PPD/00235/10/1966 tanggal 22-10-1966, yang ditujukan kepada Dan Dim 0721/Pepekuper Blora.
Namun, perintah penutupan dari Peperda Jawa Tengah dianggap angin lalu oleh Mbah Suro. Pemerintah pun berusaha menawarkan musyawarah agar tidak menimbulkan korban.
Salah satunya dengan jalan pemanggilan Mbah Suro menghadap ke Kodim Blora. Usaha itu tidak berhasil. Kemudian diadakan panggilan lagi melalui CPM, juga tidak berhasil.
Panggilan ketiga dilakukan melalui anggota Koramil Menden, juga tidak berhasil. Bahkan anggota tersebut mendapatkan pukulan dari salah seorang cantrik Mbah Sura.
Karena Mbah Suro tidak berhasil diajak berunding secara damai, maka Dandim 0721/Pepekuper mengambil keputusan untuk segera mengadakan penyelesaian persoalan Nginggil ini dengan kekuatan senjata.
Sambil menunggu keputusan Peperda Jateng, Dandim 0721/Pepekuper mengambil tindakan blokade baik secara ekonomi maupun pelarangan para pengunjung.
Berdasarkan laporan Dandim 0721/Pepekuper Blora, maka Peperda Jateng mengeluarkan Surat Telegram Pangdam VIII Peperda No. STR PPD/0069/3/1967, tanggal 4 Maret 1967, dilakukan tindakan penggerebekan/operasi terhadap pedepokan pertapaan Mbah Suro pada 5 Maret 1967.
Saat itu Komando Pasukan Khusus (Kopassus) diterjunkan mencari Mbah Suro dan pengikutnya. Dalam operasi penangkapan dan pembubaran praktik perdukunan Mbah Suro, Kopassus membuat strategi khusus, demikian dikutip dari buku ''Sintong Panjaitan Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando'' karya Hendro Subroto.
Penyerbuan padepokan Mbah Suro dilakukan Kodam VII/ Diponegoro beserta satu Kompi RPKAD (kini berganti nama menjadi Kopassus) di bawah pimpinan Feisal Tanjung.
Dalam penyerbuan itu, Mbah Suro pun berhasil ditaklukkan dan padepokan dihancurkan pada 5 Maret 1967.
Editor : Kartika Indah Kusumawardhani
Artikel Terkait