PIER Proyeksikan Pertumbuhan Ekonomi 2025 Bergerak di Kisaran 4,5 - 5,0% di Tengah Dinamika Global
JAKARTA, iNews Depok.id - Permata Bank melalui Permata Institute for Economic Research (PIER) kembali menggelar Economic Review yang mengulas perkembangan terbaru perekonomian Indonesia, khususnya pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal pertama tahun 2025.
Dalam kajian ini, PIER menyoroti bahwa pertumbuhan PDB diperkirakan melambat dari 5,03% di tahun 2024 menjadi 4,5 - 5,0% pada 2025, angka tersebut lebih rendah dari proyeksi awal sebesar 5,11%.
"PIER memproyeksikan bahwa pertumbuhan ekonomi sepanjang 2025 akan melambat, lebih rendah dari target sebelumnya. Ketidakpastian perang dagang yang meningkat telah mendorong perusahaan untuk menunda investasi dan rencana ekspansi. Oleh karena itu, kami berharap pemerintah dapat merespons dengan kebijakan fiskal yang lebih ekspansif dan stimulus tepat sasaran, agar konsumsi dan investasi domestik kembali bergerak," ujar Josua Pardede, Chief Economist Permata Bank.
Kondisi ekonomi global yang penuh gejolak, diperparah dengan tensi trade war antara Amerika Serikat dan Tiongkok, turut membayangi prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia. Meskipun pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal pertama menunjukkan angka yang menggembirakan, mencapai 10% (year-on-year), perlu dicatat bahwa lonjakan ini sebagian besar merupakan efek sesaat (one-shot effect) akibat pemulihan dari dampak El Nino.
Demikian pula yang diungkapkan oleh Faisal Rachman, Head of Macroeconomics & Market Research Permata Bank dalam acara Permata Institute for Economic Research (PIER) Economic Review Q1 2025 ini pada Rabu, 14 Mei 2025 di Jakarta.
"Proyeksi ke depan menunjukkan pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya, namun diperkirakan masih sedikit di bawah capaian pertumbuhan ekonomi nasional secara keseluruhan," sebut Faisal.
Pertumbuhan PDB Indonesia pada kuartal pertama 2025 tercatat sebesar 4,87% year-on-year (YoY), lebih rendah dibandingkan 5,02% pada kuartal sebelumnya dan menjadi laju paling Iambat sejak kuartal ketiga 2021. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang biasanya menjadi motor utama ekonomi melambat tipis menjadi 4,89% YoY. Hal ini didorong oleh melemahnya daya belanja pada sub-komponen makanan & minuman serta transportasi & komunikasi.
Pertumbuhan investasi atau Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) juga menurun menjadi 2,12% YoY, terutama karena melemahnya investasi pada bangunan & struktur serta mesin & peralatan. Di Sisi Iain, belanja pemerintah mengalami kontraksi 1,38% YoY setelah pada tahun sebelumnya terdongkrak oleh aktivitas Pemilu, sementara ekspor barang & jasa meningkat dengan didukung oleh kinerja ekspor nonmigas yang lebih kuat.
Dari Sisi sektoral, sektor pertanian mencatat pertumbuhan tertinggi, yakni sebesar 10,52% YoY, karena lonjakan produksi tanaman pangan seperti padi dan jagung. Sektor manufaktur, yang merupakan tulang punggung ekonomi nasional, tumbuh stabil sebesar 4,55%, didukung oleh kuatnya permintaan ekspor di industri logam dasar.
Sektor perdagangan ritel mencatat pertumbuhan positif sebesar 5,03% berkat momentum musiman Ramadan, serta sektor jasa juga tetap solid didukung aktivitas pariwisata berkelanjutan. Namun, sektor pertambangan mengalami kontraksi akibat aktivitas pemeliharaan di tambang emas dan tembaga, sementara sektor konstruksi melambat signifikan karena adanya realokasi anggaran pemerintah.
Sektor pertambangan pun tak luput dari tantangan. Gangguan operasional di Freeport pada kuartal pertama menyebabkan penurunan produksi, dan ekspektasi volume ekspor batu bara juga cenderung lebih rendah seiring dengan melemahnya permintaan pasar global.
Sementara itu, sektor manufaktur diperkirakan masih akan bergerak relatif stabil, dengan barang-barang investasi yang masih tertekan. Manufaktur yang berorientasi pada kebutuhan domestik (basic needs) menunjukkan resiliensi yang lebih baik, namun pasar ekspor masih diwarnai ketidakpastian akibat trade war yang terus berlanjut. Kebijakan terbaru dari Amerika Serikat yang kembali meningkatkan tarif impor dari Tiongkok semakin memperkeruh suasana perdagangan global.
Sektor jasa diprediksi masih akan memberikan kontribusi positif, kecuali untuk sektor-sektor yang terkait dengan belanja pemerintah, terutama konstruksi. Realokasi anggaran berpotensi memengaruhi laju pertumbuhan sektor ini, setidaknya hingga adanya penyesuaian dan akselerasi belanja di tahun ini.
Gambaran Regional: Secara regional, proyeksi pertumbuhan menunjukkan variasi. Sumatera diperkirakan tumbuh 4,4%, sedikit lebih rendah dari tahun sebelumnya. Jawa diproyeksikan tumbuh 4,7%, Bali dan Nusa Tenggara juga 4,7%, Kalimantan 4,5%, Sulawesi 6%, dan Maluku-Papua masih menjadi motor pertumbuhan dengan perkiraan 64%.
Respons Kebijakan: Antara Fiskal Ekspansif dan Moneter Hati-hati
Menyikapi tantangan ini, kebijakan fiskal diharapkan dapat mengambil peran yang lebih ekspansif dengan stimulus yang lebih tepat sasaran. Tujuannya adalah untuk mendorong kembali konsumsi dan investasi. Meskipun dampak langsung belanja pemerintah (government spending) terhadap pertumbuhan ekonomi mungkin tidak terlalu signifikan, efek pengganda (multiplier effect) terhadap konsumsi dan investasi diyakini cukup besar.
Dari sisi kebijakan moneter, dampak langsung kenaikan suku bunga acuan (BI rate) terhadap perekonomian relatif terbatas atau marginal. Namun, dampak tidak langsung dari perlambatan ekonomi mitra dagang utama Indonesia yang terkena dampak tarif impor oleh Amerika Serikat menjadi perhatian serius.
Hal ini berpotensi memengaruhi kinerja perdagangan Indonesia secara keseluruhan dan juga proyeksi harga komoditas ekspor utama. Beberapa proyeksi harga komoditas ekspor utama Indonesia direvisi ke bawah, seperti harga batu bara yang diperkirakan berada di kisaran $85 per ton, CPO di kisaran $680 per ton, dan harga minyak mentah Brent di $67 per barel.
Kebijakan fiskal pemerintah tahun ini diperkirakan akan fokus pada program makan bergizi gratis. Meskipun demikian, defisit fiskal diproyeksikan tetap terjaga di kisaran 2,75% terhadap PDB.
Hal yang perlu ditekankan adalah peningkatan produktivitas kebijakan fiskal, yaitu bagaimana pemerintah dapat mendorong proyek dan program yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Langkah ini penting untuk mengimbangi potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) di beberapa industri padat karya seperti tekstil, garmen, dan alas kaki.
Inflasi diperkirakan masih akan terkendali di bawah 3% (end of period), dengan proyeksi sekitar 2,33%. Di tengah ekspektasi bahwa The Federal Reserve (The Fed) masih berpeluang menaikkan suku bunga acuannya hingga 100 basis poin tahun ini, Bank Indonesia (BI) diperkirakan masih memiliki ruang untuk menaikkan BI rate sekitar 50 basis poin di akhir tahun.
Tantangan Domestik: Daya Beli Kelas Menengah dan Investasi
Data investasi asing langsung (FDI) pada kuartal pertama menunjukkan pertumbuhan yang melambat signifikan, hanya 5,6% (year-on-year), jauh di bawah pertumbuhan 19,4% pada tahun 2024.
Sektor-sektor dengan nilai investasi tertinggi yang masih tumbuh adalah basic metal, menunjukkan bahwa hilirisasi nikel masih menarik investasi. Namun, sektor pertambangan, transportasi, dan komunikasi justru mengalami pertumbuhan negatif.
Ketidakpastian global, terutama terkait dengan potensi perubahan rantai pasok (supply chain) akibat trade war, diduga menjadi faktor yang memengaruhi persepsi investor global untuk berinvestasi di Indonesia.
Sebaliknya, investor domestik menunjukkan keyakinan yang relatif tinggi terhadap prospek ekonomi dalam negeri. Investasi domestik langsung (DDI) masih tumbuh kuat sebesar 19,1%, dengan sektor transportasi, pergudangan, dan komunikasi mencatat pertumbuhan signifikan sebesar 60%, diikuti oleh pertambangan sebesar 39,1%, dan properti sebesar 66,5%. Hal ini mengindikasikan bahwa investor domestik melihat potensi dan stabilitas di pasar domestik.
Prospek Kuartal Kedua: Melambatnya Sektor Non-Manufaktur
Indikator awal untuk kuartal kedua memberikan sinyal perlambatan. Indeks Manajer Pembelian (PMI) dari S&P Global mencatatkan angka di bawah 50, menunjukkan adanya kontraksi di sektor non-manufaktur.
Penjualan mobil dan motor juga menunjukkan tren yang beragam pasca Lebaran. Penjualan motor tercatat negatif dibandingkan tahun lalu, sementara penjualan mobil masih tumbuh 5%.
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) juga terus menurun, mengindikasikan kekhawatiran masyarakat terhadap ketersediaan lapangan kerja dan prospek ekonomi ke depan.
Dampak Langsung dan Tidak Langsung Trade War
Dampak langsung kebijakan tarif Amerika Serikat terhadap sektor manufaktur Indonesia secara keseluruhan diperkirakan tidak terlalu besar, mengingat ekspor manufaktur ke AS hanya menyumbang sekitar 12,9% dari total ekspor manufaktur.
Namun, tingkat dampak akan bervariasi antar sub-sektor. Beberapa industri seperti alas kaki, garmen, tekstil, elektrikal, permesinan, elektronik, kulit, dan peralatan rumah tangga memiliki ketergantungan yang lebih tinggi pada pasar AS.
Lebih lanjut, terdapat tujuh industri yang tidak hanya memiliki eksposur besar ke pasar AS tetapi juga tidak memiliki alternatif pasar domestik yang signifikan.
Industri-industri ini meliputi tekstil dan pakaian jadi, kulit dan alas kaki, furnitur, permesinan, produk logam dan elektronik, kayu dan produk kayu, serta karet dan produk karet. Industri-industri inilah yang berpotensi paling terdampak jika negosiasi trade war dengan Amerika Serikat tidak berhasil.
Dalam kesempatan ini, Adjie Harisandi-Head of Industry & Regional Research Permata Bank mengatakan, tahun ini menghadirkan tantangan yang cukup berat bagi perekonomian Indonesia, baik dari sisi eksternal maupun domestik.
"Daya beli kelas menengah yang tertekan menjadi perhatian tersendiri. Oleh karena itu, kebijakan fiskal perlu dirancang dengan hati-hati dan terukur (manageable) agar dapat secara efektif menggerakkan ekonomi ke depan. Harapannya, kebijakan makan bergizi gratis dan inisiatif investasi lainnya dapat menjadi katalis positif bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia di tengah ketidakpastian global," ujar Adjie.
Melihat tren ini, PIER merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 menjadi di bawah 5%, lebih rendah dari perkiraan awal sebesar 5,11%.
Ketidakpastian global akibat perang dagang yang sedang berlangsung diperkirakan akan menekan laju investasi dan konsumsi domestik. Lebih lanjut, adanya perang dagang tersebut juga akan memengaruhi pertumbuhan sektoral, meskipun dampaknya akan bervariasi.
Sektor dengan orientasi ekspor dan memiliki ketergantungan terhadap pasar AS yang relatif tinggi, seperti tekstil dan garmen, kulit dan alas kaki, elektronik, furniture, dan produk karet, akan terkena dampak yang cukup signifikan dan dapat menurunkan pertumbuhan sektor tersebut di tahun 2025 ini.
Namun demikian, sektor-sektor yang berorientasi pada pasar domestik, seperti jasa dan perdagangan diyakini masih akan menjadi motor utama pertumbuhan tahun ini.
"Meningkatnya kekhawatiran atas perlambatan pertumbuhan yang tampak lesu dapat membuka ruang bagi pelonggaran moneter. Jika ketidakpastian global mereda dan ekspektasi penurunan suku bunga The Fed menguat, maka Bank Indonesia dapat memangkas suku bunga acuan (BI-Rate) hingga 50 basis poin sepanjang sisa tahun ini," pungkas Josua Pardede.
Editor : M Mahfud