get app
inews
Aa Text
Read Next : Pertamina Cek Kualitas BBM dan Fasilitas SPBU di Wilayah Cirebon Jelang Lebaran

Pengamat Pertanyakan Mengapa PGN Batasi Konsumsi Gas Pipa Untuk Pelanggan Industri

Senin, 10 Februari 2025 | 02:02 WIB
header img
Pipa gas PGN PGAS. (Foto: PGAS)

JAKARTA, iNews Depok.id - Sejak Mei 2024 lalu, Subholding PT Pertamina Gas Negara (PGN) Tbk emiten berkode PGAS telah membatasi konsumsi gas pipa untuk pelanggan industri mereka di Jawa Bagian Barat (JBB) menjadi hanya 60 persen dari volume terkontrak dan sisanya dipenuhi dengan gas LNG yang pastinya lebih mahal harganya.
 
Pembatasan itu disebutkan dengan alasan menurunnya pasokan gas dari lapangan Corridor-Grissik Medcom E&P Sumatera Selatan untuk pasokan jaringan pipa transmisi South Sumatera-West Java (SSWJ). 
 
Hal tersebut dibenarkan oleh Direktur Komersial PGAS, Ratih Esti Prihatini kepada media Rabu (22/1/2025) lalu. Ia juga menegaskan apabila terdapat gangguan dari pasokan gas pipa, PGAS telah menyiapkan LNG untuk menjaga pengaliran kepada pelanggan agar tidak terjadi kendala.

"Apabila terdapat gangguan dari pemasok gas pipa, kami telah menyiapkan LNG untuk menjaga pengaliran kepada pelanggan tidak terjadi kendala," kata Ratih dalam keterangannya di Jakarta, dilansir pada Kamis, (23/1/2025). 
 
Karena pada hari itu jumlah stok gas yang tersimpan di jaringan pipa gas atau linepack, berada pada batas level 780 MMCFD (million standard cubic feet per day), yaitu berada di bawah batas minimum 800 MMCFD, maka situasi ini mempengaruhi tekanan jaringan pada pipa yang berpotensi pada pelanggan besar seperti PLN, Indonesia Power, Tj Priok, dan PLTGU Muara Tawar.
 
Mengenai hal ini, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), sekaligus pengamat minyak dan gas (migas), Yusri Usman mengatakan, ia mengaku ada keanehan pada PGAS, yang tidak pernah menyampaikan informasi mengenai kontrak pasokan LNG nya di website IDX atau Bursa Efek Jakarta.
 
"Padahal semestinya kontrak pasok LNG ini harus dilaporkan sebagai keterbukaan informasi emiten dalam rangka memenuhi kewajiban Peraturan OJK Nomor 31 tahun 2015 dan UU Pasar Modal Nomor 8 Tahun 1995," kata Yusri, Minggu (9/1/2025).


 
Menurut Yusri, fakta tersebut juga bertentangan dengan pernyataan Corporate Secretary PGAS, Fajriyah Usman sebelumnya kepada media pada media, yang mengatakan semua informasi secara umum sudah disampaikan.

"CERI telah mengonfirmasi ulang terkait temuan di atas kepada Corsec PGAS sejak hari Minggu (26/1/2025). Lantaran sedang cuti bersama, Dirut PGN Arief Handoko dengan Corsec Fajriyah pada hari Selasa (28/1/2025) pagi, berjanji pada awal Februari akan mengundang CERI untuk menjelaskan semuanya. Namun hingga berita ini dirilis, janji tersebut tidak ditepati. Inilah contoh cara manajemen perusahaan terbuka BUMN dalam merespon pertanyaan publik," beber Yusri. 
 
"Setelah CERI mengecek ulang di website IDX, tidak ada informasi mengenai kontrak LNG yang ditanyakan oleh CERI tersebut. Terakhir, pada laman keterbukaan informasi PGAS di website IDX hanya ada informasi tentang perolehan atau kehilangan kontrak penting," imbuh Yusri.
 
Yusri menambahkan, di akhir tahun kemarin PGAS kembali menyurati pelanggan industri di Jawa Bagian Barat (JBB) untuk menerima penerapan kuota pasok gas pipa yang lebih rendah lagi, hanya 45 persen gas pipa dan memperbesar porsi LNG menjadi 55 persen dengan harga jual yang jauh lebih mahal dari harga sebelumnya. 
 
"Ironisnya, harga jual LNG yang mencapai USD 16,7 per MMBTU itu tidak diketahui berapa volume terkontrak-nya, berapa harga belinya dan sekaligus dari mana asalnya. Hal ini makin mencurigakan, apakah strategi ini sengaja diterapkan untuk menambah pendapatan akibat jebolnya volume penjualan gas PGAS?" ujar Yusri. 
 
Dikatakan Yusri, kondisi ini menjadi perhatian para aktivis industri pengguna gas PGN, mengingat pada saat awal menjabat Dirut PGAS, Arief Handoko pada September 2023 pernah akan menaikkan harga jual gas non Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) sebagai dampak kenaikan harga beli gas dari Medco E&P. 
 
"Untunglah saat itu Menteri ESDM Arifin Tasrif masih berpikiran sehat dan menolak kenaikan harga gas industri tersebut," cetus Yusri.


 
Menurut Yusri, kondisi saat ini semakin parah. Karena PGAS menaikkan harga jual gasnya dengan memanfaatkan kondisi penurunan pasokan, yang dinilai untuk menambal kekurangan pasokan tersebut dengan LNG. 
 
"Dengan demikian Manajemen PGAS dapat terus mempertahankan margin yang tinggi di tengah kondisi turunnya pasokan yang tentunya sekaligus patut dicurigai sebagai taktik untuk menaikkan nilai tawar dalam negosiasi tantiem pada RUPS tahunan nanti," ulas Yusri. 
 
Lebih lanjut Yusri menguraikan, pemanfaatan LNG sebagai penambal kekurangan pasokan gas pipa PGAS memang dapat dianggap sebagai keputusan yang paling masuk akal untuk dilakukan PGAS saat ini, mengingat sulitnya mendapat pasokan gas bumi baru dari sekitar wilayah infrastruktur gas PGAS. 
 
"Namun, di tengah kondisi sulit saat ini semestinya PGAS dapat lebih transparan dalam meneruskan beban biaya penggunaan LNG kepada pelanggan industrinya," ungkap Yusri. 
 
"Semestinya, volume LNG yang ditagihkan kepada pelanggan harusnya berkesesuaian dengan jumlah LNG yang masuk ke dalam jaringan pipa gas dan benar-benar digunakan untuk menambal kekurangan pasokan gas bumi bagi pelanggan industri," imbuh Yusri.
 
Untuk menghindari kerugian konsumen industri dan menjaga nama baik Pertamina serta komitmen pemerintah menetapkan harga gas USD 6 per MMBTU bagi tujuh industri, CERI berharap Kementerian ESDM, Kementerian BUMN dan Pertamina Holding membentuk tim investigasi untuk menelisik temuannya tersebut.

Editor : M Mahfud

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut