SERANG, iNews.id – Tak percuma Sunan Gunung Jati memprakarsai pembangunan Vihara Avalokitesvara di Kawasan Banten Lama pada abad 16. Vihara atau Petekong tempat ibadah umat Budha sampai kini menjadi simbol toleransi antar umat di Banten. Pada saat banjir terbesar Banten Selasa kemarin (1/3/2022), ratusan Muslim warga Banten Lama menginap selama 2 hari 3 malam di vihara yang letaknya di kawasan bekas istana Kesultanan Banten ini.
Umaroh, wanita 36 tahun, seperti halnya warga Pamarican, Kelurahan Banten, Serang Kota dilanda kepanikan pada Selasa siang, 1 Maret 2022. Sungai di kampung mereka meluap. Sebagaian besar rumah di pinggir sungai terendam hingga ketinggian 0,3-1 meter.
Mereka tak mau mengambil risiko. Apalagi mereka mendengar kawasan Serang Kota di bagian lebih hulu, dilanda banjir hingga ketinggian 5 meter.
Tanpa pikir panjang, Umaroh dan ratusan warga Pamarican lainnya bergerak ke Vihara Avalokitesvara, tempat ibadah umat Budha. Masyarakat Pamarican sendiri menyebut Vihara Avalokitesvara sebagai Petekong.
Lokasi vihara tepatnya di Jalan Tubagus Raya Banten, Kawasan Banten Lama, Kecamatan Kasemen, Kota Serang. Di depan vihara terdapat Benteng Speelwijk.
“Spontan kita ke sini untuk mengungsi,” kata Umaroh saat dimintai tanggapan Minggu (6/3).
Umaroh tadi memang tengah berada di Vihara. Pada hari-hari libur ia kerap berdagang kopi dan mi instan di kawasan Vihara. Sebagai salah satu Vihara tertua di Indonesia, tiap hari terutama pada hari Sabtu, Minggu atau hari libur, kerap banyak warga dari berbagai daerah datang baik untuk beribadah atau sekadar melihat-lihat Vihara. Maka kopi dan mi instan dagangannya laku. Sehari ia setidaknya bisa mengumpulkan uang Rp50-150 ribu bersih.
“Vihara ini bagi kita sudah seperti milik masyarakat,” kata wanita berjilbab ini
Maka ketika ratusan masyarakat Pamarican yang mayoritas Muslim datang, pengurus Vihara dengan tangan terbuka mempersilakan warga menempati puluhan ruang di lantai dua. Sedangkan lantai 1 tidak ditempati karena khawatir terendam.
Kawasan Vihara sendiri, permukaan banjir sudah mencapai 1 meter.
“Kami menempati selama 2 hari 3 malam di sini, sambil menunggu air surut,” ungkap Umarah.
Umarah mengaku terdapat ratusan warga Pamarican yang mengungsi ke Vihara. “Saya menempati satu ruangan bersama lima keluarga lainnya,” tambahnya.
Herman, 43, warga Pamarican lainnya mengaku bersyukur terdapat Vihara di kampung mereka. Menurutnya antara warga Pamarican dan pengurus vihara sudah terjaling hubungan erat sejak lama.
“Saat saya lahir, Vihara ini sudah ada. Warga kita sering menggelar acara di sini. Kalau ada acara di kampung, pengurus Vihara selalu hadir,” kata Herman.
Dengan kondisi seperti itu, Herman mengungkapkan tidak pernah ada masalah antara vihara dengan warga sekitar.
“Makanya saat banjir kemarin, kita langsung berbondong-bondong ke sini untuk mengungsi sambil menunggu air surut. Ada sampai tiga hari,” kata Herman.
Hal senada disampaikan Rohman, warga Pamarican yang juga mengungsi ke Vihara bersama keluarganya. “Semua warga sini yang kebanjiran, larinya ke Vihara. Ada ratusan orang,” kata Rohman.
Rohman mengungkapkan meski warga Pamarican berbeda keyakinan dengan pengurus Vihara, hal tersebut tidak menghalangi hubungan mereka sehari-hari.
“Kita saling tolong menolong. Tidak pernah ada masalah kerukunan antar agama di sini. Semuanya rukun dan saling menghormati,” cetus Rohman.
“Kalau tidak ada vihara, kita pasti kebingungan mau mengungsi ke mana. Di sini banyak kamar-kamar di lantai 2. Aman untuk tempat pengungsian untuk ratusan orang,” tambah Rohman.
Editor : Ikawati