JAKARTA,iNews.id- Data Survey Status Gizi Indonesia (SSGI) oleh Kementerian Kesehatan menunjukkan, angka stunting nasional berkurang dari 24,4% pada tahun 2021 menjadi 21,6% pada tahun 2022. Meskipun ada penurunan yang signifikan, angka tersebut masih berada di atas ambang batas WHO yang ditetapkan (>20%).
Penurunan angka prevalensi stunting ini mencerminkan kesuksesan pendekatan holistik yang diterapkan pemerintah Indonesia dalam penanganan stunting. Ini mencakup pemberian PKMK di rumah sakit, yang menjamin nutrisi berkualitas tinggi dengan kontrol kualitas yang ketat, serta pemantauan kesehatan yang lebih intensif. Namun, saat perhatian intensif pemerintah berfokus pada upaya pencegahan stunting, peran PKMK dalam pemulihan anak-anak yang telah mencapai tahap gizi buruk bahkan stunting masih belum mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah.
Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Maria Endang Sumiwi mengatakan, tata laksana stunting dilakukan dalam rangka edukasi dan penimbangan berkala setiap bulan. Melibatkan gradasi hasil penimbangan dari yang tidak naik berat badannya hingga mencapai tingkat gizi buruk.
“Untuk anak-anak yang telah mencapai tingkat stunting, pemberian PKMK disarankan, namun pemberian PKMK ini harus dilakukan oleh spesialis anak di rumah sakit dan saat ini pembiayaannya masih bersifat mandiri,” katanya, Selasa (5/12/2023).
Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Rizka Andalucia mengatakan, pengadaan Obat Program Rujuk Balik (PRB) atau bukan, itu tergantung pada Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK). Tetapi untuk dapat dimasukkan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), sebagaimana obat-obatan yang digunakan juga harus dicantumkan dalam Formularium Nasional (Fornas).
“Dalam Fornas kami melakukan kajian, apakah memang ini bisa digunakan atau layak dimasukkan untuk penanganan beberapa penyakit-penyakit. Untuk PKMK sendiri adalah pangan olahan untuk keperluan medis khusus yang persyaratannya harus diberikan berdasarkan rekomendasi atau assessment dari dokter spesialis anak,” katanya.
Menurutnya, hal tersebut memang merupakan pangan medis khusus dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pun telah mengajukan beberapa jenis PKMK untuk beberapa indikasi seperti kelainan metabolik, gangguan malabsorbsi, gizi buruk dan gizi kurang, serta gagal tumbuh.
“PKMK ini sudah kami bahas di Fornas yang akan difinalisasi dalam waktu dekat. Termasuk diantaranya adalah pencantuman PKMK ini,” ujarnya.
Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi Partai keadilan Sosial (PKS), Netty Prasetiyani Heryawan mengatakan, penurunan angka stunting yang sudah menjadi prioritas nasional namun pembiayaan anak yang sudah terkena stunting tidak ditanggung oleh pemerintah.
“Kalau kemudian jadi prioritas nasional, gimana caranya menurunkan stunting jika kemudian dikatakan bahwa stunting tidak ditanggung pemerintah dan hanya mengintervensi melalui upaya pencegahan. PKMK juga menjadi salah satu cara untuk menurunkan stunting. Namun dengan tidak adanya jaminan dari pemerintah lewat Peraturan Kementerian Kesehatan untuk pemenuhan janji bahwa PKMK diyakini dapat menurunkan stunting,” katanya.
Direktur Eksekutif Habibie Institute Public Policy and Governance (HIPPG), Dr. drg. Widya Leksmanawati Habibie mengatakan, dukungan untuk upaya mendorong pemerintah agar segera mengakselerasi penetapan kebijakan yang mendukung intervensi gizi spesifik. Hal ini sebagai langkah penting dalam percepatan pencegahan stunting guna mencapai target nasional yang menetapkan tingkat stunting sebesar 14% pada tahun 2024.
“Penting bagi pemerintah untuk segera mengakselerasi penetapan kebijakan yang efektif dan konsisten di seluruh Indonesia. Kebijakan ini harus mencakup alokasi anggaran yang memadai, pelatihan, serta pemantauan yang ketat terhadap pelaksanaan program di lapangan. Dengan upaya ini, pemerintah dapat memastikan bahwa anak-anak di seluruh negeri mendapatkan akses yang setara ke intervensi gizi spesifik, membantu mereka tumbuh sehat dan mencapai potensi mereka sepenuhnya,” katanya.
Editor : Rinna Ratna Purnama