DEPOK, iNewsDepok.id - Presiden Soekarno (Bung Karno) dan Buya Hamka atau bernama lengkap Abdul Malik Karim Amrullah mempunyai hubungan yang unik. Bung Karno sebagai sahabat sekaligus juga seteru Buya Hamka.
Buya Hamka menerbitkan Majalah Pedoman Masyarakat. Di situlah ia mulai menulis cerita berlanjut. Selain terkenal sebagai seorang sastrawan, Buya Hamka juga dikenal sebagai jurnalis dan politikus yang terkemuka.
Buya Hamka menjalin hubungan yang baik dengan para pemimpin bangsa. Kedalaman pemikirannya membuat Bung Karno sangat mengaguminya. Ini mengakibatkan terbentuknya hubungan erat antara Buya Hamka dan Bung Karno.
Secara singkat, Majalah Panji Masyarakat yang dipimpin oleh Buya Hamka kemudian dilarang karena memuat tulisan Bung Hatta yang berjudul 'Demokrasi Kita'. Tulisan tersebut berisi kritik tajam terhadap demokrasi terpimpin yang diterapkan oleh Soekarno.
Perselisihan antara Buya Hamka dan Bung Karno mencapai puncaknya saat terjadi konfrontasi dengan Malaysia pada tahun 1962. Karena Buya Hamka memiliki ikatan yang kuat dengan Malaysia, ia tidak tinggal diam.
Ia secara aktif memberikan ceramah di masjid, radio, dan televisi untuk memperingatkan akan bahaya komunis di Indonesia. Akibat tindakannya ini, Buya Hamka dan beberapa tokoh Masyumi lainnya ditangkap.
Proses interogasi yang kejam dialami oleh Buya Hamka dan tokoh-tokoh anti-komunis lainnya dan akhirnya dipenjara. Buya Hamka ditahan di Sukabumi selama dua tahun empat bulan.
Selama masa penahanannya, ia berhasil menyelesaikan karyanya yang paling besar, yang diberi judul Tafsir Al-Azhar. Ia memberi nama "Azhar" sebagai pengingat atas nama masjid tempat ia sering memberikan ceramah di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatam.
Pada tahun 1965 hingga 1966, kekuatan komunis di Indonesia mulai runtuh. Buya Hamka dibebaskan pada tahun 1967. Namun, karena merasa situasi masih belum aman, ia pindah ke Malaysia. Setelah kembali dari Malaysia, Buya Hamka mendirikan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Ketika mendengar pesan tersebut, Hamka merasa terkejut karena pesan itu datang bersamaan dengan kabar kematian Soekarno yang diberitahukan oleh keluarga pada tanggal 16 Juni 1970.
Hamka, seorang ulama besar, tidak pernah menggoreskan dendam dalam hatinya. Tak lama setelah menerima pesan itu, ia segera pergi untuk memberikan penghormatan terakhir di Wisma Yaso, tempat jenazah Bung Karno disemayamkan. Sesuai dengan wasiat sang proklamator, Buya Hamka memimpin shalat jenazah bagi orang yang pernah mengenjarakannya.
Ketika menjelang akhir hayatnya, Buya Hamka melakukan perjalanan terakhirnya ke luar negeri. Pada tahun 1981, ia menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Islam Dunia di Thaif. Tujuannya begitu mulia, yaitu untuk mendukung terwujudnya perdamaian antara Palestina dan Israel. Ini menjadi perjalanan akhirnya dalam perjuangan hidupnya yang tulus demi agama.
Setelah kembali ke Indonesia, ia tiba-tiba jatuh sakit dan mengalami koma selama satu minggu. Pada waktu subuh, tepatnya hari Jumat, tanggal 24 Juli 1981, Buya Hamka menghembuskan nafas terakhirnya pada usia 73 tahun.
Jenazahnya diistirahatkan di rumah duka di Jalan Raden Fatah III. Selanjutnya, jenazah Hamka dibawa ke Masjid Agung Al-Azhar untuk shalat jenazah yang dipimpin oleh dirinya.
Buya Hamka kemudian dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan dengan upacara pemakaman yang diawasi oleh Menteri Agama pada saat itu, yaitu Alamsyah Ratu Perwiranegara.
Setelah kepulangannya, Pemerintah Indonesia memberikan penghargaan anumerta berupa Bintang Mahaputera Utama kepada Hamka. Pada tahun 2011, ia diumumkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
Nama beliau juga dikenang melalui perguruan tinggi Islam di Jakarta yang berada di bawah naungan Muhammadiyah.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta