DEPOK, iNewsDepok.id - Kualitas air yang digunakan sehari-hari harus baik, jangan sampai konsumsi air yang sudah terkontaminasi. Pasalnya, konsumsi air yang terkontaminasi akan menimbulkan masalah kesehatan, salah satunya gagal ginjal.
Faktanya, berdasarkan laporan dari UNICEF, hampir 70 persen sumber air rumah tangga di Indonesia sudah terkontaminasi oleh tinja, demikian berdasarkan laporan dari UNICEF.
Seringkali tanpa disadari air yang terkontaminasi ini masih digunakan untuk keperluan sehari-hari seperti mandi, mencuci pakaian, mencuci piring dan minum.
dr. M Alfi Auliya Rachman menjelaskan terjadinya gagal ginjal bisa berkorelasi dengan mengonsumsi air yang sudah terkontaminasi, seperti tinja, sampah, deterjen hingga limbah pabrik, sehingga membuat kerja ginjal sebagai penyaring cairan akan rusak.
"Tidak hanya salah satu bahan komponen yang ada di dalam obat sirup, tapi korelasinya dengan air yang tercemar itu bisa," ungkap dr. Alfi saat live Instagram bersama Okezone “Air Jakarta Tercemar Tinja, Apa Dampaknya bagi Kesehatan” pada Rabu (26/10/2022).
Mengapa demikian? dr. Alfi menjelaskan ginjal berfungsi untuk memfiltrasi, menyaring semua komponen-komponen dari yang dikonsumsi. Makanan maupun minuman akan disaring dan akhirnya dikeluarkan berbentuk cairan yakni air seni.
Apabila ginjal terus memfiltrasi air yang sudah tercemar, maka akan terjadi penumpukan zat-zat berbahaya di ginjal. Hal ini bisa menyebabkan gagal ginjal akut atau kronis.
"Gejalanya itu bisa dari sakit pinggang, buang air kecilnya tidak lancar, kemudian nyeri perut hebat sampai demam," ujar dia.
Di samping itu, dampak kesehatan air yang sudah terkontaminasi seperti tinja, akan berakibat menimbulkan berbagai penyakit lainnya, seperti penyakit dan kelainan kulit, saat air tersebut digunakan mandi.
"Sistem pencernaan bisa terganggu, sistem pernapasan bisa terganggu, jadi dampak kesehatannya itu besar sekali," katanya.
Oleh karena itu, jelas dr. Alfi, masyarakat tidak disarankan untuk mengonsumsi air tercemar tersebut, meski airnya dimasak. Pasalnya, zat-zat atau racun yang ada di dalamnya belum bisa dipastikan akan mati, dan khawatir menjadi sumber penyakit.
"Kalau misalnya dimasak aku tidak menyarankan, karena memang di dalamnya itu ada kandungan zat berbahaya seperti logam, bakteri, masih banyak banget," ungkapnya.
Salah satu penelitian menyebutkan, apabila seseorang terpaksa menggunakan dan merebus air yang sudah terkontaminasi, maka disarankan dimasak lebih lama lagi yaitu sekitar 20 menit.
Lamanya memasak air yang sudah tercemar tersebut bertujuan untuk membunuh bakteri dan kontaminasi biota air yang membahayakan seperti cacing dan juga jentik nyamuk.
"Tapi sekali lagi, kalau itu casenya mendesak sekali. Namun tetap tidak disarankan sama sekali dimasak," tegas dr. Alfi.
Menurut dr. Alfi, yang dikhawatirkan saat ini adalah masyarakat menengah ke bawah karena rata-rata dari mereka mengalami kesulitan mengakses air bersih. Jadi, sumber air yang ada digunakan untuk sehari-hari, tanpa tahu apakah itu layak atau tidak.
Lebih lanjut dr. Alfi mengingatkan masyarakat agar lebih berhati-hati dalam menggunakan air yang sekiranya diduga sudah terkontaminasi.
Lantas bagaimana mengenali air yang sudah terkontaminasi? Menurut dr. Alfi, terpenting memilih air terlihat jernih saja tidak menjamin kalau itu bebas dari kontaminasi atau cemaran apa pun.
Namun, air yang sudah terkontaminasi kotoran sangat mudah untuk dikenali. Secara sederhana kontaminasi pada air bisa dilihat dari perubahan warnanya.
Menurutnya, dari perubahan warnanya saja sudah dapat diketahui suatu sungai atau sumber air lain sudah tercemar kotoran atau limbah.
"Warna-warna air di Jakarta sudah tercerminkan apa yang terkandung di dalam airnya," ungkapnya.
Lebih lanjut kata dr. Alfi, dampak air yang tercemar tidak hanya berasal dari tinja, melainkan bisa dari sumber lain seperti zat-zat berbahaya, deterjen, hingga limbah pabrik. Bercampurnya air dengan zat tersebut dapat membahayakan dari segala aspek kesehatan.
Tak hanya itu, menurut dr. Alfi, lingkungan sekitar pun akan ikut tercemar, hingga dari segi estetika jadi tidak sedap jika dipandang mata.
Editor : Kartika Indah Kusumawardhani