DEPOK, iNewsDepok.id - Managing Director Political Economy & Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan mengatakan, Mahkamah Konstitusi (MK) dapat memicu amarah rakyat dan memicu terjadinya pengadilan jalanan.
Hal itu dia katakan untuk menanggapi keluhan Sjafril Sjofyan, salah seorang warga yang mengajukan gugatan judicial review terhadap pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur presidential threshold sebesar 20% kursi DPR dan 25% suara nasional ke MK, tetapi ditolak pada Rabu (20/4/2022).
Kepada sebuah media, Sjafril mengatakan kalau MK telah menjadi penjaga tirani
"MK penjaga tirani? Menghindari gugatan uji materi dengan alasan legal standing? Hakim MK kini menjadi beban hukum: tidak adil, melecehkan KL institusi? Pada saatnya bisa memicu amarah rakyat, bisa memicu pengadilan jalanan. Waspada, kekuasaan tidak abadi," kata Anthony melalui akun Twitternya, @AnthonyBudiawan, Kamis (21/4/2022).
Foto: tangkapan layar
Untuk diketahui, pada Rabu (20/4/2022), MK menolak tiga gugatan judicial review terhadap pasal 222 UU Pemilu dengan total penggugat sebanyak 16 orang, karena gugatan pertama dengan nomor perkara 13/PUU-XX/2022 diajukan oleh tujuh warga Kota Bandung Jawa Barat; gugatan kedua dengan nomor perkara 20/PUU-XX/2022 diajukan oleh empat orang pemohon; dan gugatan ketiga dengan nomor perkara 21/PUU-XX/2022 diajukan oleh lima anggota DPD RI.
"Mengadili, menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima," kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan.
MK menolak gugatan-gugatan tersebut dengan alasan kalau para pemohon tidak mengalami kerugian konstitusional, karena telah mengetahui hak pilihnya pada Pemilu legislatif 2019 akan digunakan sebagai bagian persyaratan ambang batas pencalonan presiden 2024.
"Dengan analogi demikian, maka anggapan adanya kerugian konstitusional, terhambatnya hak untuk memilih yang dialami oleh para pemohon menjadi tidak beralasan menurut hukum," kata Hakim Konstitusi, Arief Hidayat, saat membacakan pertimbangan MK.
MK membantah argumen pemohon yang menilai bahwa pasal 222 UU Pemilu akan berkorelasi dengan jumlah pasangan capres-cawapres yang akan bertarung dalam Pemilu. Menurut MK, aturan dalam pasal itu tidak membatasi jumlah pasangan calon.
Menurut MK, permasalahan berapa pasangan calon yang memenuhi syarat untuk mengikuti pilpres tidak ditentukan oleh norma yang diajukan para pemohon.
"Sehingga hal demikian bukan permasalahan norma, melainkan permasalahan implementasi atau norma dimaksud yang sangat tergantung pada dinamika sosial dan politik yang berkembang dalam masyarakat yang termanifestasikan dalam keinginan partai politik," ujarnya.
Dalam catatan Kode Inisiatif, sepanjang 2017-2020 terdapat 14 gugatan atas pasal 222 UU Pemilu, tetapi tak ada satupun yang diterima MK.
Editor : Rohman
Artikel Terkait