JAKARTA, iNeesDepok.id - Persoalan judi online (judol) di Indonesia dinilai belum juga tuntas. Meski ada sejumlah pengungkapan kasus oleh aparat penegak hukum, peradilan perkaranya dirasa masih minim. Karena itu, ada tudingan miring dari publik bahwa ada beking 'orang kuat' di balik tak kunjung tuntasnya permasalahan judol di negara ini.
Menurut pakar hukum tindak pidana pencucian uang (TPPU), Yenti Garnasih, siapa pun orangnya, yang turut menikmati aliran dana duit judol, harus diproses hukum. Termasuk pihak-pihak yang memiliki kuasa, hingga menjadi beking dari para pelaku judol.
Upaya ini bisa dilakukan sebagai salah satu cara untuk menuntaskan perkara judol di Tanah Air.
"Dan memang semua kejahatan yang ada di dalam Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Pencucian Uang, itu termasuk judol, korupsi, kejahatan-kejahatan yang lain, pertambangan dan sebagainya itu harus menggunakan TPPU untuk menelusuri hasil kejahatan dalam hal ini, hasil judol itu sebetulnya kemana saja, gitu," ujar Yenti kepada wartawan, Sabtu, 15 November 2025.
"Siapa saja yang menikmati itu harus diseret ke pengadilan dengan TPPU-nya, gitu. Kalau dengan judolnya mungkin yang bersangkutan tidak bisa dikenakan judi online, judi yang ada di (Undang-Undang) ITE, kan. Tapi orang-orang yang menikmati, orang-orang yang mengambil hasil judol itu yang jumlahnya luar biasa itu, itu tidak tersentuh," imbuhnya.
Yenti meminta masyarakat tetap optimis dalam upaya penegak hukum memberantas judol. Termasuk saat mereka berhadapan 'orang kuat' yang menjadi beking judol.
"Kita selalu mengatakan 'wah ini sulit karena di belakang ini pejabat, di belakang ini pembesar, di belakang ini partai kuat'. Nggak boleh bilang begitu. Semakin dia pejabat, semakin dia penegak hukum, hukum harusnya semakin kuat gitu," jelasnya.
Ia mengajak publik untuk senantiasa menyemangati aparat penegak hukum dalam memberantas judol. Apalagi, sesungguhnya orang-orang yang memiliki jabatan yang diduga menjadi beking judol, jika diproses hukumannya bisa lebih berat dibanding masyarakat biasa.
"Ini kita harus semangati, gitu semangati. Jadi undang-undang mengatakan semua orang sama di depan hukum. Jadi selain sama di depan hukum, justru kalau orang-orang itu bukan rakyat biasa tapi punya jabatan, sama itu masih ditambah, ditambah sepertiganya, diperberat," papar Yenti.
"Kalau pelaku ini yang harusnya mengawasi, harusnya penegak hukum, harusnya pejabat negara, penyelenggara negara, pejabat publik, itu kita punya filosofi untuk diperberat (hukumannya)," imbuhnya.
"Jadi kita semangati penegak hukum, kalau dia masih punya nurani profesional dan punya integritas, semakin itu pejabat, semakin itu kita harus semakin lebih kuat," kata Yenti.
Yenti pun mengingatkan agar para pejabat, partai politik (parpol) hingga DPR, untuk tak melindungi pelaku judol. Ini demi menuntaskan permasalahan judol.
"Dan para pejabat, ketua partai, legislatif maupun eksekutif, jangan sekali-kali malah melindungi, apalagi terlibat," jelasnya.
Lebih lanjut, Yenti menilai semua pencucian uang hasil judol sesungguhnya bisa dilacak. Termasuk uang hasil judol yang dialihkan ke kripto, serta uang judol yang dilarikan ke luar negeri.
"Dan kalau menggunakan TPPU, menggunakan PPATK, data dari PPATK, PPATK itu sudah bisa bekerja sama dengan hampir semua negara yang tergabung dalam FATF (Financial Action Task Force). FATF itu kumpulan negara-negara di dunia untuk kerja sama, membantu kerja sama negara-negara yang meminta bantuan, melacak uang-uang TPPU," jelasnya.
"Karena hasil judi online, ini dengan pelaku. Nah dari pelaku dan teknisi, teknisi apa pun itu. Nah setelah itu kan uang yang sudah masuk dari para pelaku judi, masyarakat. Nah itu setelah tertampung, dia mengalirlah ke bandar atau ke backing. Nah itu kan TPPU-nya," sambung Yenti.
Ditambah, kata dia, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memiliki data semua transaksi keuangan. Sehingga sesungguhnya mudah menelusuri ke mana saja aliran dana uang judol tersebut, termasuk apakah turut diterima oleh pihak-pihak yang memiliki kuasa atau tidak.
"Kalau kita yang nggak bisa, nggak punya kewenangan, tidak punya center of data. Tapi kalau PPATK kan punya. Jadi sekarang sebetulnya tinggal mau apa tidak," jelasnya.
"Tinggal negara ini, negara ini melalui penegak hukumnya, Komdigi, termasuk juga PPATK, melindungi bandar dan backing apa tidak. Tidak peduli backing-nya itu mau pejabat mau apa. Semakin pejabat, harus semakin kencang hukum pidana itu," sambung Yenti.
Diketahui, salah satu kasus judol yang tengah diadili dan sudah divonis ialah yang diduga melibatkan AJK dan oknum di Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), ZA, AK dan M.
Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta telah menguatkan vonis terhadap para terdakwa kasus praktik penjagaan situs judol itu. Putusan banding dengan nomor perkara: 202/PID.SUS/2025/PT DKI tersebut, dibacakan pada Kamis, 16 Oktober 2025.
Vonis di tingkat banding ini, menguatkan bahkan memperberat hukuman para terdakwa, yakni pidana penjara selama 7 tahun dan denda sebesar Rp 1 miliar.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait
