JAKARTA, iNewsDepok.id - Polemik terbaru Pondok Pesantren (Ponpes) Al Zaytun telah menyita perhatian pemerintah dan publik. Kemarin sore (24/6/2023) Menkopolhukam RI Mahfud MD telah melakukan Rapat Terbatas (Ratas) dengan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.
Sebelumnya, Kementerian Agama (Kemenag), melalui keterangan juru bicaranya, Anna Hasbie, mengatakan, “Jika Al Zaytun melakukan pelanggaran berat, menyebarkan paham keagamaan yang diduga sesat, maka kami bisa membekukan nomor statistik dan tanda daftar pesantren, termasuk izin madrasahnya."
Halili Hasan, Direktur Eksekutif, SETARA Institute mengungkapkan, berkenaan dengan hal tersebut SETARA Institute menyampaikan beberapa pernyataan sebagai berikut:
Pertama, dalam merespons polemik Al Zaytun, pemerintah mesti melakukan investigasi yang komprehensifl. Langkah apapun yang akan diambil oleh pemerintah harus berdasarkan bukti-bukti faktual dan berlandaskan pada hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Respons Pemerintah seyogianya diorientasikan pada pengungkapan kebenaran, perlindungan keamanan warga negara dan negara, serta penegakan hukum,” ujarnya.
Investigasi yang bersifat komprehensif, dan bukan sekedar reaktif-populis, mendesak untuk dilakukan. Sebab, polemik Al Zaytun cukup lama dan berulang, sejak Ponpes itu berdiri pada 1994 di atas lahan sangat luas sekitar 1.200 hektar yang disebut oleh sebuah media asing sebagai the largest Islamic madrasah in Southeast Asia.
Sudah cukup banyak pandangan dan kajian yang memberikan sinyalemen awal keterkaitan Al Zaytun dengan NII. Selain itu, eksistensi Al Zaytun yang kokoh hingga kini juga banyak dikaitkan oleh publik dengan 'bekingan' intelijen dan militer.
Studi Human Security dan Security Sector Reform SETARA Institute mencatat, pada Pemilu 2004 kendaraan TNI bergerak dan melakukan mobilisasi massa guna melakukan pencoblosan di Kompleks Ponpes Al Zaytun.
Dalam konteks itu, investigasi yang komprehensif akan menjamin terpenuhinya hak publik untuk mengetahui dan mendapat kebenaran (right to know and to truth).
Kedua, dalam pandangan SETARA Institute, pemerintah juga mesti bertindak adil. Pintu masuk yang paling strategis untuk mewujudkan keadilan dalam polemik Al Zaytun adalah berkenaan dengan afiliasi pimpinan dan sistem Al Zaytun dengan Negara Islam Indonesia (NII) sebagaimana disebut pada poin sebelumnya.
Juga pelanggaran-pelanggaran pidana yang dilakukan oleh entitas di dalam Al Zaytun, baik oleh individu maupun badan Al Zaytun sebagai Lembaga Pendidikan. Tindakan negara tidak boleh sekadar untuk memenuhi keinginan dan tuntutan massa.
Ketiga, Pemerintah hendaknya tidak masuk terlalu dalam pada polemik sesat tidak sesatnya pandangan dan ajaran keagamaan yang dikembangkan disana dan kemungkinan mengambil langkah populis yang berangkat dari penghukuman sesat tersebut.
Mengenai sesat tidaknya pandangan dan ajaran keagamaan biarlah menjadi domain perdebatan tokoh-tokoh dan lembaga-lembaga keagamaan terkait. Sebagaimana dalam kasus-kasus berdimensi keagamaan lainnya, pemerintah tidak boleh meletakkan hukum negara di bawah pandangan dan fatwa lembaga keagamaan tertentu.
Keempat, SETARA Institute mengingatkan bahwa polemik Al Zaytun juga berkenaan dengan hak-hak atas pendidikan serta hak-hak atas perlindungan diri, integritas, dan keamanan warga negara di dalamnya, terutama 7000-an santri dan peserta didik disana.
“Mitigasi dampak dan asesmen kebutuhan harus dilakukan oleh pemerintah, bersamaan dengan investigasi komprehensif dan adil tersebut,” ucap Halili.
Editor : Kartika Indah Kusumawardhani
Artikel Terkait