JAKARTA, iNewsDepok.id - Pembahasan mengenai suntik mati pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara kembali menyeruak. Rencana yang akan diwujudkan pemerintah ini dilakukan demi merealisasikan transisi ke energi yang lebih ramah lingkungan.
Dalam berbagai kesempatan, Presiden Jokowi telah menyampaikan tekad pemerintah mempercepat pensiun dini PLTU batu bara. Termasuk saat berbicara di Hannover Congress Centrum, Hannover, Jerman, Minggu (16/4/2023), dalam gelaran Hannover Messe.
Pada Jumat (14/4/2023), Menko Luhut menemui Utusan Khusus Presiden Amerika Serikat Untuk Iklim John Kerry di AS. Dalam pertemuan itu, Menko Luhut kembali mengingatkan AS perihal Just Energy Transition Partnership (JETP) US$ 20 miliar yang disepakati dalam gelaran Konferensi Tingkat Tinggi KTT G20 di The Apurva Kempinski, Nusa Dua, Bali, 15-16 November 2022.
Pemerhati Kebijakan Publik dan Dewan Pengawas Bincang Energi, Hafif Assaf mengatakan, terkait JETP dan rencana penghentian PLTU batu bara bagai dua sisi mata uang. Keduanya saling terkait erat antara satu dengan yang lainnya.
Dirinya menyambut positif inisiasi pemerintah dalam membuat road map terkait ini dan menyarankan agar penyusunan road map pensiun dini PLTU batu bara dapat melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
"Tidak hanya pemerintah, melainkan juga pengusaha, pekerja, hingga akademisi, sehingga peta jalan yang lahir komprehensif sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Listrik," kata Hafif dalam keterangan tertulis, Sabtu (22/4/2023).
Sekadar gambaran, dalam beleid itu, tidak boleh ada lagi pembangunan PLTU baru kecuali sudah ada di RUPTL sebelum Perpres disahkan dan captive power, atau artinya sudah ada pemakainya, semisal kawasan industri.
"Apalagi, keberadaan PLTU batu bara memiliki efek signifikan terhadap kebutuhan listrik tanah air. Dengan persentase 50 persen dari total pembangkitan listrik di tanah air," tambahnya.
Kementerian ESDM sendiri pernah mengungkapkan kalau 33 PLTU batu bara akan dipensiunkan dengan total kapasitas 16,8 gigawatt (GW) di mana sebagai awalan 5,52 GW PLTU akan dipensiunkan hingga 2030.
Menurutnya hal yang tidak kalah penting adalah jangan sampai lebih dari 100 ribu pekerja dalam industri batu bara, belum termasuk yang bekerja di PLTU, terdampak kebijakan pemerintah yang sejatinya mulia tersebut.
"Pemerintah juga perlu memastikan para pengusaha pemilik PLTU batu bara tidak terhantam. Berikan waktu yang cukup bagi mereka untuk melakukan transisi bisnis energi ke arah energi ramah lingkungan serta memberikan kompensasi dan insentif yang setimpal agar appetite mereka berinvestasi tidak surut ke depannya," tutupnya.
Selain itu, menurut dirinya, terkait transisi energi, hal yang menjadi kunci lainnya adalah perlu segeranya finalisasi penyusunan RUU EBT, karena ini akan menjadi peraturan yang merupakan landasan utama.
Seperti diketahui, Rapat Paripurna DPR RI pada 13 April 2023, telah memutuskan memperpanjang waktu pembahasan RUU tersebut.
Salah satu pemicu perpanjangan waktu pembahasan RUU EBT antara pemerintah dan DPR RI adalah skema pemanfaatan bersama jaringan listrik antara PT PLN (Persero) dan pembangkit swasta (power wheeling) yang masih diperdebatkan. Skema itu dinilai mampu memudahkan transfer energi listrik dari sumber EBT atau pembangkit non-PLN ke fasilitas operasi perusahaan via jaringan transmisi kepunyaan PLN.
Kita berharap tentu pada masa sidang berikut selepas masa reses kali ini, titik temu dapat diperoleh antara pemerintah dan DPR. Sehingga harapannya RUU EBT dapat segera terselesaikan tahun ini dan diharapkan dapat menjadi basis keberlanjutan JETP.
Editor : Mahfud
Artikel Terkait