JAKARTA, iNewsDepok.id - SETARA Institute menilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali menunjukkan upaya pemutihan sistematis terhadap kasus pelanggaran HAM berat dengan meneken dua instrumen hukum baru. Pertama, Instruksi Presiden tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Yang Berat.
Kedua, Presiden Jokowi juga mengeluarkan Keputusan Presiden tentang Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Yang Berat, yang keduanya diteken oleh Presiden pada 15 Maret 2023.
Mengenai hal tersebut, SETARA memandang bahwa lagi-lagi, Presiden Jokowi tengah menunjukkan topeng simpatinya terhadap para korban dan keluarga korban, tanpa dengan sungguh-sungguh mengusut tuntas kasus pelanggaran HAM berat.
“Dari awal terbentuknya Tim PPHAM pada Agustus 2022, jalur yudisial yang dijanjikan untuk tetap diakomodir pun nyatanya hanya pemanis,” jelas Sayyidatul Insiyah, Peneliti Hukum dan Konstitusi SETARA Institute, dalam keterangannya, dikutip Jumat (17/3/2023).
Hingga kini, lanjut Sayyidatul tidak ada signifikansi perkembangan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Alih-alih memutus impunitas, aktor dan segala narasi yang menjadi hak atas kebenaran (right to truth) bagi korban masih belum mampu diungkap oleh negara.
“Tidak lagi pada tahap tidak bisa, namun Pemerintah memang cenderung tidak memiliki political will untuk benar-benar memenuhi tuntutan keadilan sebagaimana amanat UU Pengadilan HAM,” lanjut Sayyidatul.
Di samping itu, ujar Sayyidatul, SETARA juga menyoroti banyaknya kementerian/lembaga yang terlibat dalam Tim Pemantau PPHAM yang dibentuk melalui instrumen Kepres dan Inpres a quo.
Menurutnya, jangan sampai banyaknya kementerian atau lembaga negara yang terlibat tersebut hanya menjadi aksesori pemanis namun nihil hasil.
Pasalnya, kata Sayyidatul, bukan hanya korban dan keluarga korban yang akan diciderai dengan harapan palsu, namun masyarakat juga akan dirugikan, mengingat segala pembiayaan yang diperlukan dalam pelaksanaan Tim Pemantau PPHAM bersumber dari APBN.
“Artinya, negara harus memastikan dan menjamin bahwa seluruh kementerian/lembaga yang terlibat dalam Tim tidak hanya menjadi institusionalisasi absurd, namun juga benar-benar substantif dalam memberikan hak atas reparasi,” kata Sayyidatul.
Sementara itu, peneliti senior SETARA Institute yang juga dosen hukum tata negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ismail Hasani mengatakan hal lain yang jauh lebih fundamental adalah hak atas pengungkapan kebenaran (right to truth) dan hak atas keadilan (right to justice).
Hal tersebut sebagai bagian dari konsep transitional justice yang perlu menjadi alerta bagi pemerintah untuk bergegas membangun political will dalam menngusut tuntas pelanggaran HAM berat.
SETARA juga mengingatkan dorongan PBB terhadap Pemerintah Indonesia untuk menguatkan komitmen melawan impunitas serta memaksimalkan upaya dalam pemenuhan keadilan transisional secara komprehensif, terutama terkait right to truth dan right to justice.
Langkah pemutihan pelanggaran HAM berat yang diikuti pengerahan berbagai institusi negara sebagaimana dalam Tim Pelaksana dan Tim Pemantau, kata Ismail akan menjadi babak akhir takaran komitmen Jokowi memenuhi janji Nawacita yang di 2014 dan 2019 menjadi mantra memoles citra dan insentif politik elektoral.
“Paralel dengan instruksi Presiden tersebut, para aktor yang diduga terlibat sejumlah pelanggaran HAM di masa lalu, semakin mulus melenggang melanjutkan karir dan obsesi politiknya menjelang Pemilu 2024,” pungkas Ismail.
Editor : Kartika Indah Kusumawardhani
Artikel Terkait