DEPOK, iNewsDepok.id - Lagu Natal Malam Kudus atau Silent Night dinyanyikan setiap malam Natal oleh umat Kristiani. Seperti apa sejarah lagu Malam Kudus ini?
Lirik asli lagu Malam Kudus ditulis dalam bahasa Jerman, berjudul Stille Nacht. Lirik lagu ini dibuat oleh pastor asal Austria Fr. Josef Mogh pada tahun 1816, serta dipimpin paduan suara Astria Franz X. Gruber.
Lebih dari 200 tahun lalu lagu ini pertama kali dibawakan di Nicola-Kirche (Gereja St. Nikolas) di Oberndorf, Austria pada Desember. Oberndorf merupakan sebuah desa kecil di Sungai Salzach, sekitar 20 km di utara Salzburg.
Salzburg sendiri merupakan sebuah kota yang kaya akan budaya dan sejarah musik. Kota tersebut juga mempunyai ikatan dengan Mozart dan von Trapp Family Singers, sumber inspirasi untuk film musikal tercinta, The Sound of Music.
Pada suatu malam karena orgel di Nicola-Kirche sedang rusak, Pastor Mohr meminta bantuan kepada Gruber untuk membuatkan melodi dengan iringan gitarnya. Awalnya usulan tersebut ditolak Gruber karena khawatir respons jemaat Oberndorf yang tidak menyukai musiknya, apalagi musik disusun hanya beberapa jam mendekati misa.
Namun pada akhirnya orang-orang yang datang ke gereja di Malam Natal kala itu, justru terheran-heran dan terpesona dengan keindahan melodi dari lagu Malam Kudus tersebut. Hingga kini lagu tersebut selalu dinyanyikan setiap malam Natal, meski ada sedikit perubahan pada melodi lagu terutama di bagian akhir.
Selama lebih dari 200 tahun, lagu Malam Kudus dinyanyikan di Oberndorf dan desa-desa lain di provinsi Salzburg sepanjang musim liburan. Setiap malam Natal ratusan orang dari seluruh dunia berkerumun di luar kapel berbentuk segi delapan di Oberndorf, Austria, untuk menyanyikan salah satu lagu Natal paling dicintai dunia ini.
Lagu Malam Kudus telah menjadi fenomena budaya, Kidung Natal penting dalam budaya di seluruh dunia selama dua abad terakhir.
Lagu ini telah diterjemahkan ke lebih dari 300 bahasa dan dialek, termasuk Latin dan Bahasa Indonesia, dan pada tahun 2011 ditambahkan ke daftar Warisan Budaya Tak-Benda Unesco.
Bahkan lagu Malam Kudus telah direkam oleh banyak penyanyi dari dekade ke dekade, dari Bing Crosby hingga Mariah Carey. Lagu ini telah lama menjadi inspirasi perdamaian meskipun sekilas.
Terbukti dari peristiwa pada malam Natal 1914, saat itu awal Perang Dunia pertama para prajurit di parit-parit di bagian depan Flanders meletakkan senapan dan helm mereka dan menyanyikan Malam Kudus, di antara lagu-lagu Natal lainnya.
Sejak pertama kali dibawakan lagu Malam Kudus di gereja Nicola-Kirche pada 1818, gereja tersebut dihancurkan pada awal 1900-an. Saat itu, gereja tersebut rusak akibat banjir. Di samping itu, pusat kota itu dipindahkan ke hulu sungai yang lokasinya lebih aman, dengan sebuah gereja baru yang dibangun di sana dekat jembatan yang baru.
Namun pada akhirnya tempat dari gereja lama itu dibangun sebuah kapel kecil, sebagai bentuk untuk peringatan terciptanya Malam Kudus. Bangungan bernama Stille Nacht Gedacthinis Kapelle atau kapel peringatan malam kudus ini berseberangan dengan sebuah rumah yang juga dijadikan sebagai museum.
Tempat tersebut selalu banyak dikunjungi para wisatawan dari seluruh dunia setiap tahunnya, namun akan mengalami lonjakan pada bulan Desember.
Sayangnya, manuskrip asli dari Malam Kudus diduga telah hilang. Tapi sebuah manuskrip lain yang ditemukan pada 1995 menunjukkan keasliannya karena ditulis dengan tangan langsung oleh Pastor Mohr, yang diperkirakan oleh para peneliti berasal dari sekitar tahun 1820.
Manuskrip tersebut menjadi naskah tertua yang ada dan satu-satunya yang ditulis oleh Pastor Mohr.
Malam kudus disebut mempunyai kemiripan dengan aspek-aspek musik rakyat dan yodeling Austria. Berdasarkan dari pembuat melodi, Gruber yang masih dipengaruhi oleh tradisi musik daerah pedesaan tempat tinggalnya di Austria.
Namun di balik kepopulerannya, lagu Malam Kudus pernah terlupakan. Lagu ini kembali popular setelah seorang reparasi orgel menemukan naskah ini pada 1825 dan menghidupkannya kembali.
Sampai sekarang kumpulan aransemen pastor Mohr (1820) masih tersimpan rapi di Museum Carolino Augusteum di Salzburg.
Editor : Kartika Indah Kusumawardhani
Artikel Terkait