DEPOK, iNewsDepok.id - Kanker usus besar atau disebut kanker kolorektaktal menempati urutan keempat tertinggi kejadian penyakit kanker di Indonesia. Lebih dari 34.000 kejadian baru sepanjang tahun 2020 di Indonesia.
Berdasarkan data Globocan 2020, hampir 12 persen kejadian baru kanker pada laki-laki dan hampir 6 persen kejadian baru kanker pada perempuan di Indonesia adalah kanker usus besar.
Kanker kolorektal merupakan tumor ganas di usus besar, yang ditandai perubahan pola buang air besar secara terus-menerus, dan juga bisa disebabkan perubahan atau mutasi gen pada jaringan usus besar. Namun, penyebab mutasi gen tersebut masih belum diketahui dengan pasti.
Berdasarkan pemantauan, epidemiologi dan hasil akhir (SEER) dari pertama kali kanker kolorektal didiagnosis, rata-rata kesintasan 5 tahun kanker usus besar sebesar 63 persen, sedangkan rata-rata kesintasan 5 tahun kanker rektum sebesar 67 persen.
“Kejadian kanker kolorektal terus meningkat dan kebanyakan pasien datang ke dokter saat kondisi sudah stadium tinggi,” jelas Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesia Prof Dr dr Aru Wisaksono Sudoyo, dalam webinar pada Rabu (30/11/2022).
Kanker ini merupakan salah satu jenis kanker yang sulit terdeteksi dan gejalanya kerap diabaikan penderita.
Gejala kanker kolorektal di antaranya pendarahan saat buang air besar, kelelahan, dan kelemahan, serta terpapar terhadap polusi udara dan air, khususnya zat karsinogen penyebab kanker.
Kanker usus besar sering kali tidak menimbulkan gejala di awal, tetapi bila sering mengalami gejala gangguan pencernaan, seperti diare atau sembelit, dan memiliki keluarga yang menderita kanker usus besar, dianjurkan untuk berkonsultasi dengan dokter.
Semakin awal terdeteksi, kemungkinan kanker usus besar untuk sembuh juga akan semakin besar.
Oleh karena itu, Prof Aru mengingatkan penting bagi masyarakat lebih memahami tentang faktor risiko dan gejala kanker kolorektal dan melakukan deteksi dini agar terhindar dan atau sembuh dari kanker kolorektal.
Adapun faktor risiko kanker kolorektal yang perlu diwaspadai antara lain riwayat keluarga, serta kebiasaan diet rendah serat dan tinggi lemak.
“Jika faktor risiko kanker kolorektal tersebut merupakan pola hidup yang dijalankan, maka tes skrining di antaranya melalui kolonoskopi ini penting dilakukan, khususnya bagi orang berusia di atas 50 tahun,” katanya.
Kanker kolorektal biasanya dimulai pertumbuhan seperti kancing di permukaan lapisan usus atau dubur yang disebut polip. Saat kanker tumbuh, kanker mulai menyerang dinding usus atau rektum.
Kelenjar getah bening di dekatnya juga dapat diserang. Pasalnya, darah dari dinding usus dan sebagian besar rektum dibawa ke hati, kanker kolorektal dapat menyebar ke hati setelah menyebar ke kelenjar getah bening di dekatnya.
Oleh karena itu, Prof Aru mengingatkan tentang pentingnya kewaspadaan terhadap sindrom Lynch dan sindrom poliposis MUTYH.
Sindrom Lynch berasal dari mutasi gen bawaan yang menyebabkan kanker kolorektal pada 70 hingga 80 persen orang dengan mutasi tersebut. Orang dengan sindrom Lynch sering berkembang menjadi kanker kolorektal sebelum usia 50 tahun.
Mereka juga berisiko lebih tinggi terkena kanker jenis lain, terutama kanker endometrium dan kanker ovarium, tetapi juga kanker perut dan kanker usus kecil, saluran empedu, ginjal dan ureter.
Lantas bagaimana pengobatannya? Prof Aru menjelaskan beberapa opsi pengobatan kanker kolorektal, di antaranya operasi, kemoterapi, terapi radiasi, terapi target, dan imunoterapi kanker kolorektal, disesuaikan dengan kondisi dan lokasi kanker kolorektal.
"Jadi seiring dengan adanya kemajuan penanganan kanker kolorektal di Indonesia, khususnya dengan tersedianya terapi target dan pemeriksaan status penanda tumor RAS, diharapkan angka kematian karena kanker kolorektal dapat terus berkurang," ucap Prof. Aru.
Lebih lanjut menurut Prof Aru, pilihan metode pengobatan personalized treatment membantu menegakkan diagnosis yang lebih akurat, serta memungkinkan pemberian obat yang tepat, sehingga akan meminimalkan efek samping dan meningkatkan keberhasilan pengobatan dan kesembuhan.
Apabila kanker kolorektal telah memasuki stadium IV dan berkembang ke banyak organ dan jaringan yang jauh, Prof Aru mengungkapkan pembedahan mungkin tidak membantu memperpanjang umur seseorang.
“Pasalnya, pilihan pengobatan lain dapat menyebabkan ketidaknyamanan dan dapat menghasilkan gejala tambahan yang membuat kualitas hidup seseorang menjadi lebih buruk,” ujarnya.
Dalam kasus ini, kata Prof Aru, orang mungkin memutuskan untuk tidak melakukan perawatan medis yang berupaya menyembuhkan kanker dan sebagai gantinya memilih perawatan paliatif untuk mencoba membuat hidup lebih nyaman,
"Perawatan paliatif biasanya akan melibatkan menemukan cara untuk mengelola rasa sakit dan mengurangi gejala seseorang sehingga mereka dapat hidup dengan nyaman selama mungkin," jelas Prof Aru.
Menimbang panjangnya proses penyembuhan kanker kolorektal, Prof Aru menyarankan masyarakat untuk melakukan pencegahan kanker kolorektal sedini mungkin dengan berhenti merokok dan hindari alkohol.
Di samping itu, melakukan lakukan skrining untuk kanker kolorektal, serta makan banyak sayuran, buah-buahan, dan biji-bijian, berolahraga secara teratur dan kendalikan berat badan.
“Karena pada dasarnya, kanker dapat disembuhkan jika dideteksi dan dirawat pada stadium awal," pungkasnya.
Editor : Kartika Indah Kusumawardhani
Artikel Terkait