JAKARTA, iNewsDepok.id - Ketua SETARA Institute, Hendardi memberikan tanggapan atas kelanjutan proses penegakan hukum dan etik dalam kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J yang diotaki oleh Irjen Ferdy Sambo (FS).
Secara umum penetapan status tersangka (TSK) untuk FS serta beberapa personil lain dan pemeriksaan dugaan pelanggaran etik oleh Tim Khusus bentukan Kapolri, menurut Hendardi telah mengesankan penegakan hukum yang lebih tegas dan tidak pandang bulu di dalam Polri.
Namun, lanjut Hendardi, penerapan status TSK maupun dugaan pelanggaran kode etik terhadap puluhan personil baik dari Polres Jaksel, Polda Metro Jaya (PMJ) maupun Mabes Polri mesti benar-benar fair, akuntabel dan terbuka dalam prosesnya.
“Hal ini penting untuk memastikan tidak terjadi demoralisasi terhadap anggota Polri,” ungkap Hendardi dalam pesan tertulis yang diterima iNewsDepok.id, pada Selasa (16/8/2022).
Selanjutnya menurut Hendardi, untuk anggota yang diduga melanggar etik tentu dapat dijerat pidana apabila dapat dibuktikan yang bersangkutan memang terkait langsung dengan peristiwa pidananya atau turut serta membantu tindak pidana.
Namun, saran Hendardi, penetapan jerat pidana tersebut mesti dilakukan secara berhati-hati dan bertanggung jawab, serta harus cukup terbuka tentang tindak pidana apa yang dilakukan yang bersangkutan.
“Banyak dari anggota yang sebenarnya hanyalah korban skenario di awal kasus ini muncul,” tegas Hendardi.
Melihat cukup banyak personil Polri yang diperiksa berkaitan dengan pelanggaran etik dan pidana, Hendardi menyatakan sangat penting dipertimbangkan tentang kondisi mental dan moral anggota serta kewibawaan institusi.
Dugaan sangkaan atau menyatakan ketidak profesionalan anggota, kata Hendardi, mesti dengan pertimbangan matang.
Hal tersebut menyangkut apakah seluruh personil dalam 3 jenjang proses penyelidikan dan penyidikan, yang dimulai dari Polres Jakarta Selatan, PMJ, dan Bareskrim Mabes Polri memiliki dasar fakta-fakta awal yang sama dan transparan utk dianalisis.
“Juga kecenderungan penerapan dugaan dan sanksi etik ini secara tidak transparan dapat menuai prasangka pemanfaatan untuk interest tertentu maupun upaya menyudutkan pihak-pihak tertentu secara unfair,” ungkap Hendardi.
Seyogyanya, saran Hendardi, setiap proses pemeriksaan baik hukum maupun etik dapat diinfokan secara bertahap dan terbuka untuk menghindari prasangka-prasangka dan menunjukkan proses yang akuntabel.
“Termasuk di dalamnya melibatkan Kompolnas dalam pengawasan proses sesuai kewenangannya sebagaimana bunyi Pasal 9 ayat g dan f Perpres 17 tahun 2011 tentang Komisi Kepolisian Nasional,” pungkas Hendardi.
Editor : Kartika Indah Kusumawardhani
Artikel Terkait