DEPOK, iNewsDepok.id - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak seluruh permohonan judicial review (JR) terhadap pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur tentang ambang batas pemilihan presiden atau presidential threshold (PT) 20%, masih mendapat sorotan publik.
Salah satu warga masyarakat yang menyoroti putusan itu adalah praktisi hukum yang juga ketua DPP Partai Ummat Bidang Advokasi & Hukum, Juju Purwantoro.
Menurut dia, Penolakan-penolakan tersebut, termasuk penolakan atas permohonan JR yang diajukan Ketua DPD RI AA LaNyala Mahmud Mattalitti dan Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra, telah menimbulkan banyak kontroversi dan polarisasi di masyarakat.
Pasalnya, salah satu pertimbangan MK menolak permohonan LaNyalla misalnya, adalah bahwa argumentasi pemohon yang didasarkan pada anggapan munculnya berbagai ekses negatif (seperti oligarki dan polarisasi masyarakat) akibat berlakunya ketentuan pasal 222 UU Pemilu, tidak beralasan menurut hukum karena tidak terdapat jaminan bahwa jika pasal itu dihapus, maka berbagai ekses sebagaimana didalilkan oleh pemohon tidak akan terjadi lagi.
"Itu interpretasi secara bebas," katanya melalui pernyataan tertulis, Minggu (10/7/2022).
BERITA TERKAIT
- LaNyalla Nilai Putusan MK Tolak JR Pasal 222 Merupakan Kejahatan Terhadap Rakyat
Menurut Juju, seyogyanya dalam menjatuhkan vonis, hakim MK harus independen dan bebas dari intervensi manapun, sesuai amanat pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa; "kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan".
Juju mengingatkan bahwa tujuan utama hukum adalah 'keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum'.
"Maka, hakim harus mampu menjatuhkan putusan dengan memperhatikan tiga hal yang sangat esensial, yaitu keadilan (gerechtigheit), kepastian (rechsecherheit) dan kemanfaatan (zwachmatigheit)," katanya.
Menurut praktisi hukum senior itu, MK sebenarnya tidak dapat dengan serta nerta menolak atau menerima permohonan JR terhadap pasal 222 jika menganggap suatu undang-undang tidak lengkap atau tidak jelas untuk digunaka memutus suatu perkara.
"(Justru) saat itulah hakim harus mencari dan menemukan hukumnya. Korelasinya diatur juga dalam pasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman," katanya.
BERITA TERKAIT
- Gugat Pasal 222 UU Pemilu, PKS Ingin MK Ubah Presidential Threshold Jadi 7-9 Persen
Kemudian, lanjut dia, hasil temuan itu dapat menjadi hukum apabila diikuti oleh hukum berikutnya (jurispudensi).
"Dalam kasus uji materiil tentang PT'ini, hakim harusnya tidak hanya melulu 'copy paste (Copas)' keputusan sebelumnya. Hakim juga harus berusaha menemukan hukum baru, dengan cara menggali nilai-nilai hukum yang berkembang dalam masyarakat (rechtsvinding)," katanya.
Juju juga menyoroti alasan hukum 'open legal policy' yang digunakan MK untuk menolak permohonan, seolah hak demokrasi yang wewenangnya oleh para hakim MK dan penentuan calon presiden hanya oleh
partai politik di DPR, karena menurut dia, sungguhnya dasar alasan tersebut cenderung otoriter dan inkonstitusional.
Normanya, kata dia, MK harus tetap konsisten sebagai 'the guardian of the constitution' dan pengawas tegaknya demokrasi bagi civil society, justeru bukan sebagai alat 'rezim interest' belaka.
"Proses demokrasi Indonesia jangan lagi diatur dan dikuasai oleh otokrasi partai politik tertentu dan oligarki. Sungguh bertentangan dengan nalar politik publik (irrasional), karena bagaimana mungkin 'PT' 20% hasil Pemilu legislatif 2019 yang sudah kadaluarsa dipaksakan digunakan dalam sistem Pemilu 2024," katanya.
Juju menegaskan, keputusan politik tersebut bisa dikatakan sebagai kejahatan suara rakyat dalam pemilu presiden dan wakil presiden kepada pemilik hak kedaulatan rakyat yang sah di negara ini.
Editor : Rohman
Artikel Terkait