Dekan FH UI Kuliti Habis-habisan KUHP dan KUHAP Baru, Ini Sarannya untuk Seluruh APH
DEPOK, iNews Depok.id – Ini dia plus minus KUHP dan KUHAP baru. Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) berharap Aparat Penegak Hukum (APH) memahami perubahan paradigma dunia digital.
Kehadiran KUHP dan KUHAP baru dibahas saat puncak acara Dies Natalis FH UI ke-101, Jumat (31/10/2025).
Dekan FH UI, Parulian Paidi Aritonang, menyebut kehadiran KUHP dan KUHAP baru mencerminkan kemandirian bangsa dalam membangun sistem hukum nasional pasca-kemerdekaan.
Sebelumnya, KUHAP, KUHP Perdata, dan Hukum Dagang yang dipakai buatan Belanda.
"Bahkan di Belanda sendiri, aturan-aturan itu sudah diperbarui," kata Parulian.
Makanya dengan KUHP dan KUHAP baru menjadi salah satu pencapaian penting.
"Untuk pertama kalinya Indonesia memiliki kodifikasi hukum pidana yang disusun sendiri, bukan warisan Belanda," tandas Dekan FH UI ini.
Parulian menilai kampus memiliki peran strategis dalam memberikan masukan terhadap KUHAP baru, termasuk kritik akademik yang konstruktif.
“Dari kampus, kritik terhadap KUHAP baru tetap harus disampaikan. Karena masyarakat dan teknologi terus berkembang, hukum pun harus menyesuaikan,” ujarnya.
Tantangan Cybercrime dan Bukti Digital
Parulian mengakui bahwa KUHAP baru belum sepenuhnya mengakomodasi tantangan kejahatan dunia maya, seperti cybercrime, cyberpornography, dan penggunaan deepfake.
“Fondasinya sudah ada di KUHAP baru, tapi pengaturan sektoral masih perlu diperkuat. Misalnya di sektor perbankan, informasi elektronik, hingga pembiayaan digital,” jelasnya.
Parulian juga menyoroti persoalan pembuktian dalam kejahatan siber.
“Banyak kasus yang lolos karena alat buktinya belum diakui. Misalnya, bukti digital dianggap hanya hasil cetak program komputer. Padahal ada wujud nyatanya juga,” ujarnya.
Untuk itu, FH UI berharap agar aparat penegak hukum, dari jaksa, polisi, hingga hakim, mampu memahami perubahan paradigma dunia digital.
“Dulu orang menganggap dunia maya itu khayalan. Sekarang generasi muda menganggapnya dunia nyata. Paradigma seperti ini harus dipahami penegak hukum agar penanganan kasus bisa lebih relevan,” katanya.
Peran Kampus dan Kritik Akademik
Lebih lanjut, Parulian menegaskan, peran perguruan tinggi dalam pembaruan hukum tidak hanya sebatas sebagai pengkritik, tetapi juga sebagai kontributor substansi dalam perumusan undang-undang.
“Beberapa dosen FH UI menjadi bagian dari tim penyusun KUHAP baru. Ada yang masuk dalam draf akhir, ada juga yang tidak. Tapi itu wajar. Yang penting, kritik dan masukan akademik tetap jalan,” ujarnya.
Salah satu poin yang dikritisi adalah konsep pidana korporasi. Misalnya, ada ketentuan yang menyebut korporasi bisa berada di bawah pengampuan.
"Ini kan aneh, karena korporasi bukan individu. Seharusnya tidak disamakan dengan orang di bawah umur,” tuturnya.
Meski demikian, FH UI menegaskan tetap mendukung KUHP dan KUHAP baru sambil terus melakukan kajian kritis terhadap implementasinya.
“Kita tetap berkomitmen mengawal dan mengkritisi, termasuk proses beracaranya. Karena sistem hukum pidana melibatkan banyak aparat penegak hukum, KPK, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan,” pungkasnya.
Editor : M Mahfud