JAKARTA, iNewsDepok.id - Daycare atau taman penitipan anak di satu sisi hadir untuk membantu orang tua yang ingin menitipkan anaknya. Biasanya, karena orang tua dalam hal ini ayah dan ibu disibukkan sebagai pekerja di luar rumah, sehingga mereka memerlukan jasa penitipan anak untuk menjaga, merawat, dan mengawasi anak agar tetap aman, sehat, dan nyaman selama ditinggal sementara waktu oleh orang tuanya.
Menitipkan di daycare menjadi salah satu solusi yang dipilih orang tua dengan berbagai pertimbangan. Di antaranya, di tempat penitipan anak tersebut, sang buah hati juga diajarkan berbagai hal seperti bersosialisasi dan distimulasi untuk membantu tumbuh kembangnya secara baik.
Dalam kacamata hukum, berdasarkan Pasal 1 angka 7 Permendikbud 84 Tahun 2014, daycare tergolong sebagai bentuk pendidikan anak usia dini. Pasal tersebut menerangkan TPA adalah salah satu bentuk satuan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Yaitu jalur pendidikan non-formal yang menyelenggarakan program pendidikan bagi anak sejak lahir sampai dengan enam tahun dengan prioritas sejak lahir sampai dengan usia empat tahun.
Namun, di sisi lain kehadiran daycare juga rentan terhadap berbagai kasus kekerasan pada anak, khususnya pada beberapa kasus belakangan ini.
Daycare hadir bak seperti jamur di musim hujan, justru bukannya menjadi tempat yang aman bagi anak-anak. Tetapi menjadi monster terhadap anak-anak yang dititipkan.
Sebut saja di kasus yang sebelumnya terjadi di Wensen School, Kota Depok, Jawa Barat dan Pekanbaru, Riau, yang belum lama ini terungkap.
Dua anak, berusia dua tahun dan sembilan bulan, yang dititipkan di Wensen School dilaporkan mengalami penyiksaan justru dilakukan oleh pemiliknya sendiri, bukan pengasuh atau guru di tempat asuhan tersebut. Bahkan, setelah ditelisik lebih jauh, daycare ini ternyata juga belum mengantongi izin.
Pemilik tempat penitipan anak mestinya bertanggung jawab penuh terhadap keamanan dan keselamatan anak. Namun dirinya justru menjadi pelaku tindak kekerasan kepada anak.
Pemilik tempat pengasuhan di Kota Pekanbaru, Riau, berinisial WF dan Westen School di Depok, MI, sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus penganiayaan anak.
Kasus ini hanyalah bagai puncak gunung es, yang bisa jadi banyak yang belum terlaporkan kepada pihak yang berwajib. Praktisi hukum Prof Henry Indraguna geram dan prihatin melihat kasus-kasus yang terjadi di daycare yang telah memakan korban anak.
Dalam pandangannya, adanya kasus itu menunjukkan belum adanya kehadiran negara lebih jauh dalam menangani kasus-kasus seperti itu.
"Negara harusnya hadir lebih awal sebelum terjadinya suatu tindakan pidana yang memakan korban. Apalagi korbannya adalah anak-anak. Organ negara selalu terlambat memitigasi, apalagi mengantisipasi terjadinya tindak kekerasan kepada anak-anak," ujar Prof Henry, Selasa (13/8/2024).
Negara, kata Prof Henry harus memberikan sanksi tegas sebagai efek jera agar kasus-kasus serupa tidak terulang lagi. Kekerasan terhadap anak harus menjadi perhatian ekstra pemerintah.
"Jangan lagi memakan korban anak. Jangan sampai anak-anak yang tidak berdosa jadi korban pengelola, pemilik, dan pengasuh daycare," ujarnya.
Ia juga meminta pemerintah segera membuat aturan yang mengatur keberadaan tempat penitipan anak secara tegas.
"Pemerintah juga harus menetapkan pemilik dan pengasuh daycare memiliki sertifikasi kompetensi yang menjadi tolok ukur daycare tersebut bisa diaudit oleh publik, khususnya masyarakat yang menggunakan jasa daycare tersebut. Selama ini, pengasuh daycare lebih banyak juga berlatar belakang pendidikan rendah sehingga mempengaruhi treatment mereka kepada anak-anak," ujarnya.
Karena itu, ujar Prof Henry, perlu adanya persiapan pendidikan setingkat sarjana untuk para pengasuh di daycare. Solusi dari lembaga-lembaga akademik itu penting.
Prof Henry mendorong agar daycare atau penitipan anak tidak hanya memenuhi syarat-syarat administratif, tetapi juga memastikan ada mekanisme pengawasan secara berkala.
Keberadaan daycare juga harus dilihat secara komprehensif dari sisi payung hukum yakni Undang-undang Perlindungan Anak.
Ia melihat saat ini tidak atau belum ada payung hukum atau regulasi yang mengatur khusus mengatur daycare atau tentang permasalahan pengasuhan anak.
"Karena itu, harus ada pengawasan ekstra terhadap daycare. Jangan sampai memunculkan daycare ilegal atau daycare abal-abal. Terlebih saat ini izin mendirikan daycare, sangat mudah diperoleh masyarakat," ucapnya.
Di Depok saja, berdasarkan laporan Direktorat Jenderal Hukum dan HAM, ada 110 Daycare, namun hanya 12 yang terdaftar. Belum lagi di wilayah lain. Dari angka itu, terlihat ada kebutuhan mendesak untuk mengawasi sejumlah tempat penitipan anak tersebut.
Sebagai informasi, daycare yang legal adalah lembaga yang terdaftar di Kementerian Pendidikan Kebudayaan dan Ristek, atau Kementerian Sosial, serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPA).
Sementara daycare ilegal tidak dapat dipantau pengelolaannya, baik dari sisi kelembagaan, sumber daya manusia (SDM), maupun layanan pengasuhan.
Itu sebabnya, harus ada sistem pengawasan, pengasuhan berbasis psikologis tumbuh kembang anak, sesuai usia dan pemahamannya.
Politisi Partai Golkar ini menegaskan pentingnya untuk memastikan anak-anak berada di tangan pengasuh yang kompeten dan dapat dipercaya, sehingga mengurangi risiko kekerasan dan penelantaran.
"Terlebih pada implementasinya, belum semua daycare dapat menjalankan fungsi mengasuh, merawat, dan mendidik anak secara baik dan berkualitas,” pungkasnya.
Editor : M Mahfud