JAKARTA, iNewsDepok.id - RM Soedarsono memiliki peran besar dalam pendirian Monumen Nasional (Monas). Ia adalah arsitek dari bangunan yang menjadi kebanggaan warga Jakarta tersebut.
Monas dibangun untuk mengenang perjuangan rakyat Indonesia dalam merebut kemerdekaan dari penjajah. Pada puncak Monas, terdapat mahkota lidah api yang dilapisi lembaran emas, melambangkan semangat perjuangan rakyat Indonesia yang menyala-nyala.
Monas memiliki ciri khas tersendiri. Bangunan setinggi 132 meter yang dibuka untuk umum pada 12 Juli 1975 ini melambangkan keunikan Indonesia. Bentuk yang paling menonjol adalah tugu yang menjulang tinggi dan pelataran cawan yang luas.
Di atas Tugu Monas, terdapat api yang menyala seakan tak pernah padam, melambangkan semangat bangsa Indonesia yang terus berjuang tanpa henti.
Namun, Soedarsono ternyata tidak pernah mengenyam pendidikan formal di bidang arsitektur. Lantas, bagaimana ceritanya hingga ia bisa merancang Monas?
Soedarsono adalah seniman kelahiran Yogyakarta pada 1 Mei 1933 dan wafat pada 16 Oktober 2018. Namanya dikenal luas melalui karya-karyanya dalam bidang koreografi dan buku-buku yang diterbitkan, baik di dalam maupun luar negeri.
Soedarsono juga merupakan salah satu guru besar di bidang Seni dan Sejarah Budaya di Fakultas Ilmu Budaya serta program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM).
Saat Monas mulai dibangun pada Agustus 1959, ia tergabung dalam tim arsitek bersama Frederich Silaban dan Rooseno sebagai konsultan.
Gagasan awal pembangunan Monas muncul setelah sembilan tahun kemerdekaan diproklamasikan. Beberapa hari setelah peringatan HUT ke-9 RI, Panitia Tugu Nasional dibentuk untuk mengusahakan berdirinya Tugu Monas.
Panitia ini dipimpin oleh Sarwoko Martokusumo dengan S Suhud sebagai penulis, Sumali Prawirosudirdjo sebagai bendahara, dan dibantu oleh empat anggota: Supeno, K K Wiloto, E F Wenas, dan Sudiro.
Panitia pembangunan Monas dinamakan Tim Yuri yang diketuai oleh Presiden Soekarno. Tim ini menggelar sayembara pada 17 Februari 1955 dan 10 Mei 1960.
Selama itu, tidak ada rancangan yang memenuhi seluruh kriteria panitia. Akhirnya, ketua Tim Yuri menunjuk beberapa arsitek ternama, termasuk Soedarsono dan Frederich Silaban, untuk menggambar rencana Tugu Monas.
Kedua arsitek tersebut sepakat membuat gambarnya masing-masing yang kemudian diajukan kepada Bung Karno. Bung Karno akhirnya memilih gambar karya Soedarsono. Dalam rancangannya, Soedarsono mengemukakan landasan pemikiran yang mengakomodasi keinginan panitia, mencakup kriteria nasional.
Soedarsono mengambil beberapa unsur dari Proklamasi Kemerdekaan RI. Revolusi nasional diterapkan dalam dimensi arsitekturnya, yaitu 17, 8, dan 45 sebagai angka keramat Hari Proklamasi.
Bentuk tugu yang menjulang tinggi mengandung falsafah “Lingga dan Yoni” yang menyerupai “Alu” sebagai “Lingga” dan bentuk wadah atau cawan yang menyerupai “Lumpang” sebagai “Yoni”.
Alu dan Lumpang adalah dua alat penting yang dimiliki setiap keluarga di Indonesia, khususnya rakyat pedesaan. Lingga dan Yoni merupakan simbol dari zaman dahulu yang menggambarkan kehidupan abadi. Unsur positif (lingga) dan unsur negatif (yoni) seperti adanya siang dan malam, laki-laki dan perempuan, baik dan buruk merupakan keabadian dunia.
Bentuk garis-garis arsitektur tugu ini mewujudkan garis-garis yang bergerak tidak monoton, naik melengkung, melompat, rata kembali, dan naik menjulang tinggi. Akhirnya, garis-garis tersebut menggelombang di atas bentuk lidah api yang menyala.
Badan tugu yang menjulang tinggi dengan lidah api di puncaknya melambangkan semangat yang berkobar dan tak kunjung padam dalam dada bangsa Indonesia.
Soedarsono sebenarnya tidak pernah mengenyam pendidikan atau sekolah formal di bidang arsitektur. Bakatnya dalam arsitektur muncul secara autodidak melalui latihan dan pengalaman.
Namun, saat berada di Bandung sebelum masa pendudukan Jepang, Soedarsono berguru kepada insinyur bangunan dan pengembangan kota bernama Thomas Nix. Saat itu, Nix bertugas di kantor Balai Kota Bandung dan mengerjakan bangunan militer serta perumahan sipil.
Editor : Sazili MustofaEditor Jakarta