JAKARTA, iNewsDepok.id - Berdiri sejak 20 Juni 1975, kini Bina Desa merayakan hari jadinya yang ke-48 tahun. Sejak awal berdiri hingga saat ini, Bina Desa bertekad untuk tetap konsisten melakukan pemberdayaan kepada insan pedesaan demi mendorong benih-benih kemandirian, kemampuan dan terlindunginya hak-hak masyarakat pedesaan, perempuan dan kaum marginal pedesaan lainnya.
Mengusung tema 'Kiprah Bina Desa dalam Pembangunan Pedesaan', dalam rangka ulang tahunnya, Bina Desa menyelenggarakan 'Bincang Syukuran 48th Bina Desa' bertempat di Kedai Tempo, Sabtu (8/7/2023).
Diskusi publik kali ini dihadiri oleh Muhammad Fachri, S.STP, M.S, Direktur Advokasi dan Kerja Sama Desa dan Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) dan Rusdin M. Nur mewakili Sekretaris Badan Pengembangan SDM dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kemendes PDTT, Francis Xavier Wahono, B.SC., Ph.d selaku Dewan Pembina Yayasan Bina Desa, serta Lily Noviani Batara selaku aktivis Pegiat Pertanian Alami dan Kedaulatan Pangan.
Kegiatan dibuka oleh Ketua Pengurus Bina Desa, Dwi Astuti, yang dalam sambutannya mengatakan bahwa dalam perjalanannya, Bina Desa diberi mandat dan misi untuk melakukan penguatan kepada masyarkat yang marjinal terutama masyarakat pedesaan. Dengan bermula dari kerja bersama dengan organisasi masyarakat sipil di level daerah, Jawa dan Sulawesi.
Kegiatan ini fokus pada pengorganisasian dengan musyawarah sebagai roh utama pengorganisasian. Kegiatan ini juga berdampak baik bagi berdirinya sejumlah organisasi masyarakat sipil di tingkat nasional.
“Semua yang ada di Bina Desa menyadari bahwa kerja-kerja yang dilaksanakan menjadi tantangan tersendiri karena Bina Desa memilih untuk menempuh jalan sunyi dan acap kali berlawanan arah karena pendekatan yang berbeda dari banyak organisasi masyarakat sipil nasional,” kata Dwi.
Sementara itu, sejarah berdirinya Bina Desa bermula dari keikutsertaan sejumlah orang yang memiliki peduli terhadap isu pedesaan dalam seminar Development of Human Resources in Rural Asia (DHRRAW) di Bangkok, Thailand, 49 tahun silam.
Setelah selanjutnya berkonsolidasi hingga melahirkan INDHRRA atau Bina Desa, lembaga ini terus menciptakan terobosan gagasan dan konsep pemberdayaan serta menerapkan strategi dan bentuk pendampingan yang belakangan tampaknya menginspirasi bahkan sebagiannya diadopsi oleh pemangku kebijakan khususnya oleh Kemendes PDTT, yang juga menggunakan terminologi pendamping desa.
"Adanya perbedaan pendekatan antara Bina Desa dan pemerintah pada zaman Orde Baru. Di mana kala itu pemerintah lebih banyak mengutamakan pembangunan fisik, sedang Bina Desa lebih kepada pembangunan melalui pendekatan manusia. Kerja-kerja yang dilaksanakan lebih banyak kampanye atau promosi untuk membuka mata semua pihak, termasuk pemerintah atas kebutuhan dasar untuk membangun pedesaan," kata Dewan Pembina Yayasan Bina Desa, Francis Xavier Wahono.
Lebih lanjut disampaikan, lambat laun Bina Desa berjalan untuk melaksanakan pengorganisasian dari permasalahan akar rumput, seperti advokasi Reformasi Agraria, penyadaran beralih dari pertanian organik ke pertanian alami, penyadaran kesetaraan gender dan inklusi sosial, dan lainnya.
Terlebih pada tahun 2014 lalu, UU Desa disahkan sehingga sifat pembangunan ala orde baru secara mantap ditinggalkan.
Menurut Muhammad Fachri Kemendes PDTT terus berusaha melibatkan sumber daya insani pedesaan pada forum-forum Musyawarah tingkat desa agar terwujud pembangunan yang bersifat bottom to the top (bawah ke atas) di mana dalam UU No. 6 Tahun 2014 itu juga disebutkan desa dapat mengelola pendanaan secara mandiri.
"Saat ini sebagai salah satu upaya mendorong pembangunan desa Kemendes PDTT bersama ASEAN Secretary, AsiaDHRRA, dan Bina Desa juga berkolaborasi dalam perencanaan master plan SOMRDPE," ujar Fachri.
Kolaborasi serupa ini juga dapat dilakukan melalui program pendamping desa, di mana menurut Rusdin M. Nur, pendamping desa memiliki dua tugas utama, yakni peningkatkan partisipasi dan melaksanakan pemberdayaan masyarakat pedesaan.
"Hingga hari ini tantangan terbesar adalah wilayah pendampingan yang luas (satu pendamping bisa mengampu dua hingga empat desa) sehingga pendampingan tidak bisa optimal dilakukan (kurang menyentuh masyarakat). Maka di sinilah potensi organisasi masyarakat sipil seperti Bina Desa dapat mengambil peran dalam mendukung pemberdayaan masyarakat," kata Rusdin.
Pada kesempatan itu Rusdin M. Nur juga berharap Bina Desa dan pemerintah dapat berkolaborasi lebih banyak karena berada di perspektif yang hampir sama.
"Tidak seperti masa lalu di mana umumnya organisasi masyarakat sipil dan pemerintah berada di kutub yang berseberangan," imbuh Rusdin.
Sementara itu, Lily Noviani Batara juga sependapat, terlebih Bina Desa memiliki cita-cita luhur di mana Komunitas Swabina Pedesaan (KSP atau kelompok masyarakat pedesaan) yang juga datang dari kelompok minoritas dan marjinal, mampu menyuarakan kondisi yang tidak memihak kepada mereka.
"Tetapi tantangannya, apakah KSP ini terlibat dalam musrenbangdes dan mereka bisa menjadi pengambil keputusan di desa? Karena ketika KSP mampu berada dalam forum-forum ini, terutama perempuan, anak muda, petani dan nelayan kecil, dan masyarakat marjinal desa, pembangunan pemerintah akan merata dan tepat sasaran," kata Lily.
Sementara proses-proses pengorganisasian di desa yang dilakukan oleh KSP atau pendamping desa, tanpa proses pengorganisasian yang solid maka yang akan mengambil ruang ini adalah elit desa dan apa yang tertuang dalam UU Desa tidak akan dapat terlaksana.
“Sejatinya, Desa adalah tempat di mana kita belajar, bukan hanya tentang alam tapi juga seluruh kehidupan (manusia dan alam). Perlu kita ingat bersama, desa adalah sumber kehidupan maka harus kita jaga.“ Ucap Lily.
Sebagai penutup, turut hadir dalam kesempatan tersebut salah satu seniman musik rock legendaris, Roy Jeconiah (Jecovox Band), yang menyediakan diri mendukung dan menyemangati peserta diskusi yang hadir baik secara luring maupun daring.
Editor : M Mahfud