JAKARTA, iNewsDepok.id - Pangeran Diponegoro pernah melakoni perjalanan spiritual ke selatan Yogyakarta saat berusia 20 tahun untuk bertapa di beberapa gua di pesisir laut selatan.
Sebelum ke pantai selatan, Pangeran Diponegoro mengunjungi masjid dan pesantren di daerah Yogyakarta. Pentingnya kunjungan itu adalah untuk melengkapi pendidikannya sebagai santri dan untuk mengenali guru yang pantas membimbing pengetahuan keagamaan dirinya ke tingkatan lanjut.
Perjalanan ini dimulai dari Tegalrejo. Sebelum memulai perjalanan, dia mengganti namanya menjadi Syekh Ngabdurahim agar tak mudah dikenali masyarakat. Nama tersebut diambil dari bahasa Arab.
Shaykh Abd al Rahim, yang kemungkinan diusulkan oleh salah satu penasihat spiritualnya di Tegalrejo. Penggunaan nama islam seperti itu bukan sesuatu yang luar biasa di kalangan pangeran Jawa pada masa itu.
Sebelum perjalanan ini, Diponegoro juga mencukur rambutnya agar selama berkelana ke pesantren-pesantren tidak menarik perhatian para santri. Pangeran Diponegoro seorang kasta tertinggi dan orang yang dihormati memilih untuk menyamar dengan mengenakan pakaian biasa, sehingga hanya sedikit orang yang dapat mengenalinya.
Busana pakaian kepangeranannya ia tanggalkan. Dia mengganti busana Jawa berkerah tinggi dengan selendang yang dililitkan di pinggang dan penutup kepala dari batik tulis.
Dia memakai busana sehari-hari kaum santri abad ke-18, yaitu kain sarung kasar yang dipadu dengan baju putih tanpa kancing dan baju tak berkerah dengan surban hijau atau putih sebagai penutup kepala.
Babad Diponegoro mencatat perjalanan dari Tegalrejo dan memulai kehidupan sebagai santri, yang berkelana dengan mengunjungi pesantren-pesantren dan masjid-masjid. Di sana Diponegoro hidup bersama para santri biasa.
Tidak diketahui pesantren mana saja yang pernah dikunjungi Diponegoro. Tetapi boleh jadi beberapa wilayah selatan Yogyakarta, seperti Gading, Grojokan, Sewon, Wonokromo, Jejeran, Turi, Pulo Kadang, termasuk dua pathok negari, Kasongan dan Dongkelan.
Konon Diponegoro juga sempat menelusuri daerah pedalaman, menuju kompleks pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri, Yogyakarta. Di Bengkung, di tepi kolam di puncak tangga besar menuju makam raja-raja, ia menghabiskan waktu satu minggu untuk bersemedi.
Kemudian Diponegoro juga mengikuti salat Jumat di Masjid Jimatan. Para juru kunci masjid itu, yang dikenal sebagai jimat karena menjaga makam raja-raja yang letaknya 100 meter di bawah puncak Bukit Imogiri mengenali Diponegoro meski berpenampilan lusuh.
Diponegoro menceritakan bahwa para juru kunci itu langsung mengenali dirinya dan memberinya penghormatan dengan segala apa yang mereka miliki. Hal ini menunjukkan bahwa betapa Diponegoro dikagumi oleh petugas keagamaannya. Banyak dari mereka kemudian mendukung Diponegoro dan turut serta selama Perang Jawa.
Editor : M Mahfud