JAKARTA, iNewsDepok.id - Aktivis muda Nahdlatul Ulama (NU), M Yusuf Mansur mendaftarkan permohonan uji materi terhadap perubahan Pasal 6 Tahun 2002 tentang pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Iya menilai pasal tersebut bertentangan dengan Pancasila, terutama sila ke-4.
Yusuf menilai, Pasal 6 perubahan UUD 1945 serta Pasal 6 huruf (A), dinilainya sudah keluar jauh, baik secara nilai dasar, nilai instrumental dan nilai friksi. Apabila dicermati, tidak mewakili atau merepresentasikan sila ke-4 tersebut.
"Sudah dua dekade pemilihan presiden dan wakil presiden banyak menimbulkan berbagai kekerasan di tengah masyarakat karena minimnya pengetahuan tentang politik praktis," katanya di Jakarta, Rabu (16/8/2023).
Yusuf Mansur juga menilai, masih banyak terjadi sistem pemilihan umum yang dianggap mencederai amanat reformasi, dengan semakin berkembangnya nepotisme di berbagai daerah seluruh Indonesia.
"Pemilihan presiden dan wakil presiden serta kepala daerah secara langsung (one man one vote), sudah tidak tepat karena banyak menimbulkan hal-hal yang merugikan baik penegakan hukum dan terbelahnya masyarakat kita serta mundurnya demokrasi Pancasila di titik nadir yang paling rendah," imbuhnya.
Yusuf melanjutkan, undang-undang tersebut sudah jauh dari apa yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa pada Pancasila.
"Saya juga mengajak seluruh elemen bangsa untuk bersama-sama kembali lagi mencermati dan merenungkan tentang memulihkan pasal 6 sebelum perubahan tahun 2002," katanya.
Pemilihan presiden dan wakil presiden serta kepala daerah dipilih melalui lembaga negara melalui keterwakilan rakyat yang ada di parlemen untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia menjelang seabad kemerdekaan dan menuju masa keemasan bangsa Indonesia.
Yusuf menilai, dalam penelitiannya, pasal 6 serta pasal 6 huruf (A) menjadi pemicu terbelahnya masyarakat. "Contoh penentuan koalisi partai politik saat ini dalam menentukan calon sudah menimbulkan resonansi di tengah masyarakat dengan masifnya caci maki melalui media sosial karena mendukung salah satu calon," katanya.
"Ini sangat jauh dari cita-cita besar atau dari kepribadian bangsa. Masyarakat kita abai terhadap keberadaban serta jauh meninggalkan budi pekerti luhur. Hal ini disebabkan oleh pejabat-pejabat partai politik yang mempertontonkan caci maki karena beda koalisi dalam pesta demokrasi," ujarnya.
Dampak yang terjadi saat ini secara ekonomi banyaknya investor-investor luar negeri takut berinvestasi di Indonesia karena tidak ada kepastian keamanan dalam negeri diakibatkan oleh pemilu pilpres maupun pilkada serta terancam pembangunan proyek-proyek strategis nasional (PSN).
"Contoh mangkraknya proyek nasional di satu dekade awal yaitu Hambalang dan banyak lagi yang mangkrak di era presiden sebelumnya. Hari ini presiden yang menjabat akan berakhir di pemilu 2024 ini juga akan meninggalkan pekerjaan yang akan terancam mangkrak," kata Yusuf.
Menurutnya, banyak anggaran negara yang digunakan untuk pemilu yang berpotensi menjadi celah korupsi, karena biaya politik yang sangat besar.
"Hal ini sangat merugikan seluruh masyarakat karena saya menilai tidak tepat dalam penggunaan anggaran. Perilaku-perilaku fasis dan rasisme mengancam kebhinekaan kita. Ini yang mendorong saya untuk meminta MK mengkaji lagi perubahan pasal 6 tahun 2002 baik secara filosofi, nilai dasar, nilai instrumental dan nilai friksi berkesesuaian dengan sila ke-4 Pancasila sebagai dasar negara," katanya.
Dalam hal ini, kata Yusuf, Pancasila bukan hanya dasar negara tapi sumber segala asa hukum yang berlaku di Indonesia.
Editor : M Mahfud
Artikel Terkait