JAKARTA, iNewsDepok.id - Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan bahwa turunnya indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia pada data indeks terbaru menunjukkan kegagalan pemerintahan Joko Widodo dalam pemberantasan korupsi. Data tersebut dirilis oleh Transparency International (TI), yang merupakan lembaga asal Jerman, yang merilis daftar IPK tahun 2022.
Dalam rilis indeks tersebut, Indonesia mengalami penurunan peringkat dalam hal penanganan korupsi dari sebelumnya di peringkat 96 menjadi 110. Skor Indonesia dalam indeks tersebut turun dari 38 menjadi 34.
"Narasi penguatan pemberantasan korupsi yang digaungkan oleh Presiden Joko Widodo dinilai gagal dan tak pernah terbukti,” kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, dalam diskusi #Safari24 Total Politik yang mengangkat tema 'Persepsi Korupsi Melorot, Kinerja Pemberantasan Korupsi Disorot', di Jakarta, Minggu (12/2/2023).
Kurnia melihat bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia justru mengalami kemunduran, selama delapan tahun program Pemerintahan Jokowi.
“Alih-alih membaik, nasib pemberantasan korupsi justru kian mundur belakangan waktu terakhir," tegasnya.
Kurnia juga mengkritisi kasus korupsi di lingkup politik Indonesia dalam dua dekade ke belakang jadi salah satu variabel anjloknya IPK Indonesia dalam rilis indeks tersebut.
“Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi sejak 2004 sampai 2022, pelaku yang berasal dari lingkup politik, baik anggota legislatif maupun kepala daerah, menempati posisi puncak dengan total 521 orang,” ungkap Kurnia.
Kurnia menambahkan, hal tersebut menandakan gagalnya program pencegahan ataupun penindakan yang dilakukan oleh pemerintah. Bahkan dirinya menganggap, kinerja Jokowi bertentangan dengan program Nawacita yang Jokowi gembar-gemborkan.
"Ada bisa kita lihat Jokowi dalam janji politik di program Nawacitanya di nomer empat yaitu menolak Negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya. Kenyataannya sangat berbeda dengan janji Jokowi tersebut," imbuh Kurnia.
Kurnia juga mencatat beberapa persoalan yang membuat indeks korupsi Indonesia jeblok.
Pertama, Presiden Jokowi melemahkan KPK melalui perubahan Undangan-Undangan (UU) KPK dan dinilai membuat kesan pembiaran pemimpin bermasalah dalam lembaga antirasuah tersebut.
Kedua, pernyataan kontroversial pemerintah melalui menteri-menteri dalam Kabinet Indonesia Maju.
Pendapat yang dimaksud Kurnia di atas misalnya pernyataan Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, yang meminta agar aparat penegak hukum untuk tidak menindak kepala daerah yang terjerat kasus korupsi.
Komentar kontroversial juga pernah dinyatakan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, yang menilai operasi tangkap tangan (OTT) KPK berdampak terhadap citra negara.
Selain itu Luhut juga meminta KPK agar tidak perlu sering melakukan OTT, menurutnya, ketika sistem digitalisasi sudah berhasil maka tidak akan ada koruptor yang berani korupsi.
"Bisa diingat pernyataan Menko Marves, Pak Luhut pernah mengatakan jika KPK tidak perlu melakukan OTT (operasi tangkap tangan). Begitu juga Pak Tito Karnavian, yang meminta kepala daerah yang terlibat korupsi, tidak perlu ditindak, melainkan didampingi," pungkasnya.
Editor : M Mahfud
Artikel Terkait